Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wakil Ketua MUI Anwar Abbas Bicara Kinerja Petugas Haji 2024

Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, mengatakan, tuduhan itu menunjukkan ketidaktahuan atau kurang literasi anggota Timwas DPR.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Wakil Ketua MUI Anwar Abbas Bicara Kinerja Petugas Haji 2024
Istimewa
Ibadah Haji 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) bicara soal tuduhan miring anggota Tim Pengawas (Timwas) DPR terhadap kinerja petugas haji yang memicu terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket, Selasa (9/7/2024).

Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, mengatakan, tuduhan itu menunjukkan ketidaktahuan atau kurang literasi anggota Timwas DPR terhadap tahapan penyelenggaraan ibadah haji.

Baca juga: Muhammadiyah Dukung Pansus Haji, Tapi Jangan Sasar Personal Menteri Agama

Buya Anwar menilai petugas haji sudah bekerja dengan baik.




Apalagi, ada jemaah juga mengapresiasi kinerja petugas.

Buya Anwar juga mengaku telah berdiskusi dengan banyak pihak.

Baca juga: Pengamat Sebut Pansus Angket Haji Beraroma Politik Praktis, Rivalitas Antar-Kelompok

Mereka umumnya menilai penyelenggaraan haji tahun ini jauh lebih baik dari tahun sebelumnya, baik dari segi prasarana maupun pelayanan.

"Saya melihat haji tahun ini jauh lebih baik dari tahun kemarin. Ini usai saya berdiskusi dan tanya ke beberapa pihak, dari segi prasarana dan pelayanan," kata Buya Anwar dalam keterangan yang diterima, Kamis (11/7/2024).

BERITA TERKAIT

Hal yang sama diungkapkan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mustolih Siradj.

Menurutnya, penyelenggaraan haji oleh Kementerian Agama RI dari tahun ke tahun semakin membaik.

"Secara keseluruhan penyelenggaraan haji tahun ini, jauh lebih baik dibaning tahun sebelumnya. Kalaupun masih ada kekurangan, itu manusiawi. Kekurangan ini jadi pekerjaan rumah (PR) yang harus sama-sama diselesaikan segera," ujarnya.

Mustolih menyoroti isu yang lagi gaduh saat ini soal pergeseran atau pembagian kuota haji 2024 sebanyak 241.000 orang (setelah ada tambahan kuota 20.000) jemaah untuk reguler dan khusus.

Bila mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2019, terutama pada Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 64, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama tidaklah salah.

Dalam pasal tersebut, pembagian kuota haji normal atau pokok sebenarnya sudah dijalankan oleh kementerian.

Termasuk pembagian tambahan kuota haji. Hal ini disampaikan

Kuota haji pokok awalnya sebanyak 221.000 jemaah. Sesuai Pasal 64, kuota itu dibagi menjadi dua, yakni untuk jemaah haji reguler sebanyak 203.320 orang setara 92 persen, sementara jemaah haji khusus sebanyak 17.680 atau setara 8 persen.

Kemudian ada tambahan kuota sebanyak 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi, sehingga totalnya menjadi 241.000 jemaah.

Lalu, Pasal 9 menjelaskan, untuk kuota haji tambahan selanjutnya diatur atau ditetapkan oleh menteri agama lewat Peraturan Menteri (Permen).

Sehingga, ketika kuota haji tambahan sebesar 20.000 dibagi rata, sebanyak 10.000 untuk haji reguler (menjadi 213.320) dan 10.000 untuk haji khusus (menjadi 27.680), menurut Mustolih, tidak apa-apa.

“Secara regulasi Kemenag tidak menyalahi. Ngunci di situ. Dari aspek regulasi aman,” katanya.

Mustolih yang juga menjabat Ketua Komisi Nasional (Komnas) Haji dan Umrah menegaskan, persoalan haji tidak cukup masuk kategori persoalan mendesak, strategis, dan berdampak luas yang menyebabkan situasi sangat serius sehingga perlu ditangani secara komprehensif.

Hal itu bila mengacu pada Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPRD, DPD). Apalagi kemudian alasan Pansus dinarasikan gara-gara Kemenag mengabaikan kesepakatan dengan Panja DPR.

“Bobotnya kalau ditimbang ya jauh. Kemenag tidak menyalahi regulasi. Tapi kalau kemudian DPR membuat Pansus dengan alasan itu, ya boleh-boleh saja. Tapi kan tidak semua persoalan bisa dipansuskan. Harusnya cukup di Panja, dievaluasi di level-level itu,” kata dia.

Baca juga: Kemenag: Sebanyak 130 Ribu Lebih Jemaah Haji Sudah Dipulangkan ke Tanah Air

Mustolih menjelaskan, secara substansial ada banyak isu lain yang lebih menggelisahkan publik dan lebih layak untuk di-Pansuskan oleh DPR.

Dirinya mencontohkan kasus judi online, penipuan online, kemudian pencurian data pribadi, yang memang membuat gelisah publik secara masif akhir-akhir ini.

“Lha, isu haji ini tidak mencerminkan kegelisahan publik. Tidak masif, tidak terstruktur dan tidak meluas,” kata Mustolih yang juga aktif di ekosistem haji dan umrah menambahkan

Kemudian secara teknis, kata dia, Pansus juga dipaksa dibuka pada akhir periode. Di sisi lain, masa operasional haji belum selesai karena masih menyisakan 14 hari lagi.

Kemudian nanti terbentur masa reses anggota, lalu bulan berikutnya anggota dewan baru juga sudah mulai masuk.

“Kok penyelenggaraan haji belum selesai kok menterinya dipanggil. Jadi saya ragu ini (Pansus) akan tuntas. Pansus ini problematis. Ini akan menjadi pertaruhan reputasi DPR,” kata dia.

Dalam beberapa waktu belakangan ini, ada beberapa Pansus yang kemudian tidak jelas ending-nya. Contohnya, kata dia, Pansus soal tenaga kerja asing yang menguap begitu saja.

Lalu, ada Pansus soal kecurangan pemilu yang tidak jelas terealisasi atau tidak.

"Jadi, dari segi teori boleh-boleh saja DPR membuat Pansus, tapi lebih baik dilihat dulu urgensinya, menyangkut hajat hidup orang banyak atau tidak.

“Kalau memang pertimbangannya itu (urgensi), kasus judi online itu lebih urgen,” kata Mustholih.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas