PTDI mati suri dan hidup kembali
Setelah mati suri hampir 14 tahun, PT Dirgantara Indonesia berhasil bangkit kembali dengan mengantongi nilai kontrak produksi pesawat dan suku cadang mencapai lebih dari tujuh triliun rupiah hingga 2014.
Hingga 2014, PTDI harus menyelesaikan pesanan enam unit CN235 untuk TNI AL dan AU.
Tujuh unit helicopter N-Bell 412EP TNI AD dan AL, sedang menyelesaikan dua unit heli Superpuma untuk TNI AU, dan belasan heli lain harus dikerjakan sebelum penyerahan usai tahun 2014.
Sementara untuk CN295 PTDI akan memproduksi sembilan unit untuk TNI Al dan AU yang akan diselesaikan dalam tiga tahun mendatang.
"Yang CN295 ini kita selesaikan bersama Airbus Military," tegas Rahendi.
Yang juga jadi penopang pendapatan penting bagi PTDI adalah kontrak pemasok suku cadang yang datang dari sejumlah pabrikan besar pesawat seperti Airbus yang diproduksi di Inggris.
“Kami adalah single source untuk sayap yang melekat ke badan Inboard Outer Fixed Leading Edge untuk Airbus 380, kita sudah mengirim 137 shift set,” kata Rahendi.
Sementara untuk produksi Airbus 320-321, PTDI bertindak sebagai sub kontraktor dari Spirit Aerosystem asal Inggris yang menyediakan komponen utama pesawat.
“Kita dinyatakan sebagai subkontraktor terbaik selama tiga tahun berturut-turut dan sudah mengirim 2400 shift set komponen.”
Layanan lain yang disediakan PTDI adalah bengkel perawatan pesawat, yang saat ini menangani sejumlah pesawat dari maskapai dalam negeri dan maskapai asing Asia.
‘Tukang jahit’
Meski nampak mengalami kemajuan serius kinerja PTDI bukan tanpa cacat.
Meski standard diakui internasional, sebagian produk PTDI dinilai masih tak seideal yang diharapkan. TNI AU yang paling banyak memakai produk mereka mengeluhkan hal ini.
“Kalau produk sudah lama jadi sih, komplain kita minim. Tapi kalau produk masih baru, masih harus dikejar terus sesuai persyaratan kita,” kata Marsekal Imam Sufaat, Kepala Staf TNI AU.
Imam yang juga menjabat sebagai salah satu komisaris PTDI mengakui kesulitan utama pengembangan produk di PTDI adalah pada persoalan alih teknologi dari Negara maju pada engineer PTDI