Tiap Tahun 60 Ribu Siswa Jepang Putus Sekolah
Dalam setahun sekitar 60.000 siswa yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan dan perguruan tinggi (universitas)
Editor: Dewi Agustina
Musashi University di Tokyo telah mengumumkan jumlah siswanya yang drop out serta tingkat drop out di sana per fakultas selama dua tahun terakhir ini. Menurut universitas tersebut, diumumkannya jumlah yang drop out karena kini banyak murid yang mendaftar juga ingin tahu berapa banyak jumlah murid yang drop out dari sekolah tersebut sehingga akhirnya diumumkan terbuka.
Kyushu Sangyo University di perfektur Fukuoka juga mengumumkan jumlah drop out sejak tahun fiskal 2012. Alasan membuka hal tersebut karena banyak SLTA di Jepang kini merekomendasikan siswanya agar melihat jumlah drop out pendidikan tinggi dulu sebelum memasukinya sekaligus bisa mengetahui penempatan dan kemungkinan kerja apabila terjadi drop out di sana.
Tidak banyak sekolah yang mengantisipasi hal drop out ini. Shizuoka Sangyo University di perfektur Shizuoka telah menunjuk gurunya, satu guru memonitor 10 murid, dalam 10 tahun terakhir ini.
Mereka akan mewawancarai sang murid kalau tingkat kehadiran mulai kurang, "Ada apa kok tidak masuk sekolah?" Dari situ akan diketahui alasan dan akan diantisipasi segera. Meskipun demikian para guru mengakui sulit mengantisipasi kalau sudah menyangkut tidak ada uang, "Kita akan berusaha semaksimal mungkin agar mereka tidak drop out. Itu saja semangat kita para guru," ungkap seorang guru di sana.
Karena banyaknya jumlah drop out maka kini banyak sekolah melakukan pendidikan perbaikan (remedial education) untuk membantu study para murid tersebut termasuk juga para murid yang baru masuk sekolah yang bersangkutan.
Menurut pengumpulan pendapat yang dilakukan Japan Association for Developmental Education tahun 2011, lebih dari 70 persen pendidikan tinggi di Jepang ternyata memberikan remedial education saat ini.
Shigeru Yamamoto, Kepala organisasi nonprofit Newvery dari hasil surveinya sendiri ternyata menemukan kesimpulan bahwa para murid yang drop out ternyata banyak yang bukan alasan uang tetapi justru karena alasan mis-match, tidak tepat masuk sekolahnya. Misalnya seharusnya si anak masuk sekolah arsitektur, malah masuk ke fakultas kedokteran.
"Oleh karena itu sesungguhnya pihak pemerintah Jepang sudah seharusnya dapat lebih sensitif dan aktif segera memberikan antisipasi kepada masalah drop out ini," ungkapnya.
Sebanyak 80 persen para drop out karena salah masuk sekolah.
"Oleh karena itu pada saat di SLTA seharusnya pihak sekolah membimbing mereka agar tidak salah masuk pendidikan tinggi nantinya. Harus dilakukan bimbingan dan konsultasi kepada para murid SLTA sejak awal. Sementara pendidikan tinggi harus bisa memberikan isi pendidikan dan metode pengajaran yang baik kepada muridnya," paparnya lagi.