Mengapa Jemaah Haji Bisa Berstatus 'Ghaib'?
Bisa terjadi karena ketiadaan informasi yang diperoleh PPIH ketika pasien Indonesia yang dirujuk ke rumah sakit Saudi kemudian dipindahkan.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Kholish Chered dari Arab Saudi
TRIBUNNEWS.COM, MEKKAH - Seksi Perlindungan Jemaah Haji, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja (Daker) Makkah, berhasil menemukan satu dari dua orang jemaah haji Indonesia yang dilaporkan hilang, atau dalam istilah perhajian berstatus "ghaib". (Baca: Kisah Dua Jamaah Haji yang Berhari-hari Hilang dan Dinyatakan Berstatus 'Ghaib')
Dua jemaah yang dilaporkan hilang adalah Wawan Chandra Suharna dari Kloter SOC 13 Solo dan Muhammad Husaini bin Aban dari BDJ 12 Banjarmasin. Wawan ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di RS King Faisal, Syisyah, Mekkah, Jumat (17/10/2014) dinihari.
Lantas, mengapa jemaah tersebut bisa berstatus "hilang"? Salah satu petugas kesehatan di Daerah Kerja Mekkah, dr Ramon Andreas, mengatakan kondisi ini bisa terjadi karena ketiadaan informasi yang diperoleh PPIH ketika pasien Indonesia yang dirujuk ke rumah sakit Saudi kemudian dipindahkan ke rumah sakit Saudi yang lain.
Terlebih dalam penanganan gawat darurat, disaat pasien begitu banyak dan padat di puncak musim haji.
"Misalnya, pada awalnya jemaah dirawat di RS An-Nuur. Namun karena pertimbangan yang mendesak, bisa saja mendadak dipindahkan ke RS King Faisal untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut," katanya.
Kerena itulah tim sanitasi dan surveillance PPIH juga selalu berupaya berkooordinasi guna memiliki data pasien yang akurat, sehingga keberadaan dan kondisi pasien bisa terus terpantau.
Ramon mengatakan, ketika ada jenazah di RS Saudi yang tidak dikenali (alias Mr X), maka pihak RS akan menunggu hingga 3 sampai 4 bulan sebelum memakamkannya.
"Apabila ada jenazah yang tidak dikenali, maka selama 3 sampai 4 bulan tidak dimakamkan. Namun tetap disimpan di kamar jenazah. Hal ini untuk memberi kesempatan bagi keluarga atau pihak lain yang ingin mencari. Bila tidak ada lagi yang mencari, baru dimakamkan," katanya.
Namun mengenali jenazah saat itu tidaklah mudah, karena jenazah sudah bengkak. Pasalnya jenazah tidak diformalin, hanya dibekukan. Umumnya jenazah hanya dikenali dari ciri-ciri khusus, ataupun rona wajah Melayu bagi jemaah Indonesia.
Ia mencontohkan sebuah peristiwa pada tahun 2006. Saat itu seorang jemaah membawa kakek dan neneknya ke Masjidil Haram. Menjelang salat Jumat, salah satu dari jemaah lansia terjatuh, lalu dibawa ke Rumah Sakit Aziyat di dekat Masjidil Haram.
Setelah mengantar, jemaah itu lalu ke pemondokan. Namun ternyata ICU rumah sakit itu penuh, dan mendadak pasien dipindahkan ke RS Mina Tawarrik. Saat jemaah itu kembali, pasien sudah tidak ada.
"Setelah dicari beberapa waktu, ternyata pasien sudah wafat di RS Mina Tawarrik. Jenazah dikenali dengan gigi palsunya," kata Ramon.
Senada, Kasi Perlindungan PPIH Daker Mekkah, Jaetul Muchlis, mengatakan jemaah bisa hilang karena melakukan aktivitas yang terpisah dari rombongannya dan tidak kunjung kembali ke pemondokan.
Bisa jadi jemaah itu sedang beri'tikaf di masjid, lalu sakit atau wafat. Lalu dibawa ke RS terdekat tanpa ada komunikasi dan koordinasi dengan misi haji jemaah yang bersangkutan. Terutama jemaah yang tidak menggunakan tanda identitas.
"Husaini sempat masuk ke kloternya pada 11 Oktober namun sorenya 'ghaib' lagi," kata Muchlis.
Jemaah dianggap "ghaib" jika selama dua hari tidak ditemukan atau dilaporkan hilang. Setelah dilaporkan "ghaib", petugas berupaya untuk mencari jemaah tersebut, antara lain dengan melakukan penyisiran ke rumah sakit-rumah sakit Arab Saudi.
Sebelumnya, kata Muchlis, juga dilaporkan ada seorang jemaah wanita lagi yang ghaib. Namun setelah ditelusuri ternyata ditemukan meninggal di rumah sakit Arab Saudi.