Ahmad Arif: Liputan Bencana, Media Jepang Tak Memunculkan Gambar Mayat
Ahmad Arif, wartawan Kompas merasa senang dapat terpilih diundang ke Jepang.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Ahmad Arif, wartawan Kompas merasa senang dapat terpilih diundang ke Jepang. Pusat Pers Asing Jepang (FPCJ), khususnya inisiatif President FPCJ, Kiyotaka Akasaka, memilih dari sekian banyak wartawan Indonesia yang diundang ke Jepang dengan maksud agar wartawan Indonesia dapat menularkan informasi pengalaman warga Jepang menghadapi bencana kepada masyarakat Indonesia.
"Kami melakukan untuk persiapan antisipasi datangnya bencana, dengan melihat kepada pengembangan sistem informasi diseminasi untuk mitigasi bencana," ungkap Akasaka kepada Tribunnews.com baru-baru ini.
"Kesempatan menarik untuk kembali ke Jepang, bertemu dengan wartawan lain, utamanya wartawan Jepang, yang juga pernah meliput bencana, termasuk wartawan dari New Zealand yang juga pernah meliput gempa di sana," ungkap
Ahmad yang berbahagia dapat diundang khusus kepada Tribunnews.com, Selasa (6/1/2015) sore.
Kebetulan Ahmad meliput tsunami Aceh 2004 dan tinggal di Aceh sampai 2007.
"Saya juga meliput tsunami Jepang. Saya ke Sendai hari kedua setelah tsunami dan melihat perbedaan respon masyarakat maupun media di Jepang dan Indonesia dalam meliput bencana," ujarnya.
Tahun lalu selama 8 bulan (Juni 2013-Februari 2014) Ahmad juga ke Jepang untuk melihat bagaimana Jepang memulihkan diri dari tsunami. Terlihat perbedaan pendekatan. Jepang memprioritaskan membangun kota yang lebih aman dari tsunami serupa.
Sebaliknya di Aceh mitigasi bencana belum jadi prioritas.
"Dari aspek jurnalistik juga terlihat bedanya. Media di Jepang tidak ada gambar mayat dan lainnya. Sebaliknya media di Indonesia biasanya lebih fokus pada kesedihan dan drama," paparnya.