Ada Yang Menangis Sambil Berbagi Pengalaman Paska Bencana Aceh di Miyagi
Seorang narasumber dari Indonesia, Nurjanah, diundang Jepang berbagi pengalaman kepada masyarakat Jepang
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Seorang narasumber dari Indonesia, Nurjanah, diundang Jepang berbagi pengalaman kepada masyarakat Jepang mengenai bencana di Aceh.
Komunitas di Asuto Nagamachi temporary shelter kemarin (11/3/2015) memperingati 4 tahun kejadian Gempa besar Tohoku. Sambil berbagi pengalaman, ada pula beberapa orang tua terlihat menangis, mengusap air mata mengenang peristiwa dahsyat tersebut.
"Pemerintah lokal (Pemda) Sendai membangun kawasan Temporary shelter, hunian sederhana dua kamar lengkap dengan fasilitas kamar mandi, toilet, dapur, mesin cuci dan teras tambahan yang sekaligus berfungsi sebagai tempat jemur pakaian. Bangunan sementara berjumlah 200 an dengan 160 KK, yang berasal dari Fukushima, Sijigawa, Ishinomaki dan Sendai sendiri," ungkap Nurjanah sebagai nara sumber pembicara kepada Tribunnews.com pagi ini (12/3/2015).
Nurjanah, mahasiswa Tokyo Metropolitan University yang berasal dari Banda Aceh, membagi pengalaman seputar proses rekonstruksi paska bencana di Aceh dan komparasi dengan kasus Miyagi.
Proses rekonstruksi di Aceh masih minim partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang: relokasi atau tidak relokasi, “village planning” yang dibutuhkan, desain, sampai kepada jenis material yang akan digunakan serta kualitas dari rumah yang dibangun.
Sehingga pada umumnya masyarakat yang tinggal di perumahan relokasi, tidak mempunyai “sense of belonging” dari rumah mereka tersebut. Sedangkan di Jepang, komunitas sangat berinisiatif, dan aktif dalam proses pengambilan-pengambilan keputusan seperti yang di sebutkan di atas.
Difasilitasi oleh akademisi, NGO/NPO dan perusahaan swasta, bersama-sama dengan pemerintah lokal, melakukan workshop, sosialosasi sebelum sebelum memutuskan akan direlokasi atau tidak, type rumah yang dibutuhkan, material bangunan rumah dan memantau sendiri kualitas bahan dalam pembangunan rumahnya, Tingginya partisipasi masyarakat, membuat para korban bencana memiliki “Sense of belonging melalui semua proses rekonstruksi tersebut. Karena rekonstruksi bukan hanya masalah merelokasi dan membangun rumah kembali. Akan tetapi juga “community building” dan “reconstruction trust” dalam proses recovery.
"Sebelum upacara peringatan gempa, Komite Masyarakat” mengadakan pertemuan terlebih dahulu. Adapun agenda dari pertemuan itu ada 3 point penting," paparnya lagi.
Agenda pertama adalah pembubaran panitia komite di komunitas temporary shelter, berkaitan dengan keputusan hampir 100 anggota shelter yang akan berpindah ke “public housing” yang dibangun oleh pemerintah dan bisa di sewa dengan harga terjangkau oleh masyarakat korban bencana. Sisanya 60 KK, separuhnya memutuskan untuk membangun sendiri rumah mereka di lokasi lain sesuai pilihan mereka sendiri. Sedangkan separuhnya lagi masih berstatus “no planning”.
Kemudian agenda kedua, adalah laporan kegiatan selama di Shelter dan laporan keuangan panitia.
Memasuki agenda ketiga, mengenai disposisi kepemimpinan.