Sejumlah Desa di Nepal Rata dengan Tanah
Majigaon adalah salah satu dari sejumlah desa dan dusun di distrik Sindhupolchok, yang paling parah tertimpa gempa, yang mengalami penderitaan total.
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, NEPAL — Desa nelayan kecil Majigaon di bantaran Sungai Indravati, 100 kilometer dari jalan di Kathmandu, Nepal, tercantum di dalam peta. Sekarang desa itu terhapus dari peta.
Tak satu pun struktur bangunan tersisa masih berdiri di Majigaon. Sebanyak 50 rumah terbuat dari batu dan kayu ambruk seketika Sabtu pekan lalu ketika gempa berkekuatan 7,8 Skala Richter menghantam Nepal.
Majigaon adalah salah satu dari sejumlah desa dan dusun di distrik Sindhupolchok, yang paling parah tertimpa gempa, yang mengalami penderitaan total.
Seorang awak berita VOA mencapai Majigaon Kamis (30/4/2015) setelah menempuh perjalanan berjam-jam menggunakan kendaraan off-road melewati jalan-jalan rusak terkena gempa dan baru dibersihkan dari longsor, dan kemudian berjalan menuruni jalan curam di teras-teras sawah.
Lima orang tewas di Majigaon, seorang remaja pria hilang dan sekitar 20 warga desa terluka.
Sebuah tim penyelamat dari Singapura muncul kurang dari 20 menit, Rabu (29/4/2015) untuk memberikan pertolongan pertama, menurut warga desa. Beberapa orang terluka, termasuk gadis cilik berusia 18 bulan yang kakinya patah, masih ada di desa.
Bau kematian tidak hanya berasal dari manusia, namun juga dari ternak yang terperangkap di dalam puing-puing.
Beruntung sebagian besar orang masih di ladang saat gempa terjadi, memotong kayu bakar atau menyabit rumput untuk ternak. Namun tragis bagi para hewan, yang diikat di kandang untuk menghindari panas terik tengah hari dan tidak dapat melarikan diri saat getaran dimulai.
Hilangnya hampir seluruh ternak merupakan pukulan keras bagi orang-orang miskin yang sekarang menjadi tuna wisma di seluruh distrik.
Selama empat hari, para penyintas di Majigoan bisa makan. Kemudian mereka mendengar bantuan dibagikan di Melamchi dekat desa mereka.
Akash Maji (24) mengatakan ketika orang-orang dari Majigaon tiba mereka menemukan bantuan telah dibagikan, sebagian besar pada pemilik-pemilik toko yang cukup berada yang propertinya tidak rusak secara serius.
Delegasi Majigaon tidak punya uang, namun berhasil membeli secara kredit 30 karung beras, masing-masing seberat 30 kilogram.
Meski Majigaon telah ada selama bergenerasi lamanya, penduduk desa sedang berdebat apakah mereka harus membangun kembali di sana, karena takut gempa lain akan mengulangi tragedi.
"Jika kami membangun struktur yang sama, insiden yang sama akan terjadi. Kami tidak punya uang untuk membangun rumah-rumah yang lebih kuat. Dan siapa yang akan peduli dengan kami? Jika sebuah LSM atau badan sosial datang menolong kami, kami selamat. Jika tidak kami tidak punya apa-apa untuk bertahan," ujar Narayan Krishna Maji (43).
Bahkan banyak komunitas yang dekat dengan Kathmandu mengemukakan duka yang mirip dengan Majigaon.
Ratomey, dusun di sebuah bukit di lereng Himalaya yang menghadap sawah-sawah yang subur di dekat distrik Kavre, juga rata dengan tanah. Di sini, tidak ada satu bangunan pun dapat ditinggali dan ternak terkubur di bawah puing-puing. Belum ada bantuan yang mencapai Ratomatey, tempat 12 orang mati.
Di dekat Ratomatey, para penyintas yang terluka sedang menanti bantuan. Mungkin baru berhari-hari atau berminggu-minggu sebelum ada yang mencapainya. Jumlah resmi penyintas yang terluka di seluruh negara telah melewati 11.000 orang.
Di Mahadevstan, di distrik Kavre, bantuan satu-satunya yang diterima adalah donasi dari Palang Merah lokal berupa 90 terpal untuk tempat tinggal penyintas dari 1.700 rumah yang ambruk. (VOA Indonesia)