Mereka Masih Ingat Bom Atom Hancurkan Hiroshima dan Nagasaki
Kisah kelam 70 tahun lalu sudah lewat, tapi mereka yang selamat dari bom atom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki tak pernah melupakannya.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, FUKUSHIMA - Tujuh puluh tahun setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, pengalaman pilu selalu mengundang tangis para korban selamat. Serangan bom mematikan 1945 di kedua kota tersebut, tak mudah para korban lupakan.
Atsushi Hoshino (87), saat itu masih SMA, berurai airmata mengisahkan pengalamannya. Usia senja tak membuatnya pikun mengisahkan peristiwa serangan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Hiroshima, yang menewaskan hampir 140.000 orang pada akhir tahun. Tiga hari kemudian, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki.
"Saat itu porak poranda, hangus terbakar. Pada 15 Agustus, Jepang menyerah," kenang Hoshino kepada Reuters di rumahnya di Kota Fukushima, Jepang.
Setelah serangan AS, Hoshino remaja keluar ke jalan mencari teman sekelas yang hilang. "Salah satu kenangan tak terlupakan adalah menemukan dua teman saat itu yang satu terluka tapi tidak sadar dan yang lainnya kritis dengan seluruh tubuhnya - termasuk hidung, bibir, dan mata - terbakar dan menghitam seperti arang," tangisnya pecah mengenang apa yang dialami dua temannya.
"Yang pertama tewas dalam truk dalam perjalanan ke asrama mereka. Yang lainnya masih hidup, tapi tubuhnya sudah penuh dengan belatung. Saya sempat membersihkan dengan pinset, sampai teman itu akhirnya juga meninggal."
"Bahkan sekarang, aku tidak bisa melupakan wajah, penampilan dan kenangan bersama teman-teman yang menjadi korban bom atom," katanya.
Korban selamat bom Nagasaki, Yoshiteru Kohata (86), yang kembali ke tempat kelahirannya di Fukushima beberapa tahun setelah perang berakhir, katanya sempat ingin melupakan hari setelah pengeboman. Karena ketika itu ia membantu korban terluka dan mengangkat mayat hingga ke pegunungan untuk dimakamkan.
Hingga kini, telinganya seperti mendengarkan seorang wanita muda berteriak minta tolong. "Tolong berhenti. Tolong berhenti," begitu para korban luka bakar berteriak saat dokter tentara mengoperasi mereka tanpa bius.
"Bahkan sekarang, ketika saya bercerita, air mata juga dan dadaku sesak," tambah Kohata, seorang pensiunan guru.
Yamada (89), yang rumahnya hanya 2,5 km dari pusat ledakan ketika bom jatuh di Hiroshima, melihat langit dengan awan hitam dan lidah api merah. Terbersit saat itu, kata dia, bahwa Jepang ditakdirkan untuk kalah perang.
Saat itu, Yamada masih di sekolah menengah. Sepupunya, satu tahun lebih tua, memutuskan untuk masuk ke Sekolah Yokaren, menjadi seorang pilot Angkatan Laut Kekaisaran. Sekolah itu yang pada akhirnya melatih banyak dari pilot "kamikaze" untuk melakukan misi bunuh diri di bulan-bulan terakhir perang.
"Saya mengatakan kepadanya sudahlah pikirkan lagi Jepang tidak bisa memenangkan perang ini. Tidak usah bergabung." Tapi, sepupunya bergabung pula dan pada bulan Februari 1945 datang untuk mengucapkan selamat tinggal.
"'Kami tidak punya bensin. Kami tidak punya pesawat. Yang bisa saya lakukan adalah mati'. Anda tetap hidup dan bekerja untuk Jepang," Yamada mengutip kali at terakhir sepupunya.
Dua bulan setelah Jepang menyerah, keluarga diberitahu bahwa sepupunya telah meninggal dalam pertempuran berdarah di Iwo Jima. "Ada banyak yang meninggal pada usia 16," katanya.
Kini, mereka para "hibakusha" yang selamat, Yamada, Hoshino dan Kohata menyuarakan protes terhadap tingkah laku Perdana Menteri Shinzo Abe yang berencana merevisi penjelasan Undang-Undang Dasar dan memaksa untuk meluluskan RUU Keamanan di Majelis Rendah Jepang, tanpa memperdulikan protes rakyat.
Mereka mengingatkan, selama 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II, Undang-undang Dasar Perdamaian Jepang selalu melindungi warga Jepang bebas dari penderitaan perang, namun Shinzo Abe memaksa meluluskan RUU Keamanan di Majelis Rendah karena keegoisan dan ketidakpeduliannya pada protes rakyat maupun ahli hukum.
Komite Penyusunan Undang-Undang Perdamaian dan Keamanan Majelis Rendah Jepang pada tanggal 15 Juli lalu telah secara paksa meluluskan Rancangan Undang-Undang Keamanan yang diserahkan pemerintah Shinzo Abe.
Berbagai kalangan masyarakat Jepang berturut-turut mengadakan unjuk rasa untuk memprotes “RUU Perang” yang diluluskan secara paksa oleh pemerintah Shinzo Abe tanpa menghiraukan opini publik.
"Jika Anda menyelidiki dampaknya bom atom, Mala Akan tahu bagaimana bom itu menghancurkan dan membuat manusia menderita. karena itu kami berjuang me lawan agreed perang," kata Yamada, sembari menyebut para pemimpin perang Jepang "pembunuh". "Tapi Pak Abe tidak menggali dalam-dalam."
Hoshino bahkan menilai kebijakan Abe blunder. "Saya tidak bisa berpikir apa yang dipikirkan Shinzo Abe. Ingat, perang adalah kejahatan terbesar."
Kini Atsushi Hoshino dan teman-temannya korban bom atom Hirosima dan Nagasaki bergerak melawan Rencana pemerintahan Abe. Mereka mengkhawatirkan perang penggunaan bom atom kembali terjadi. (Reuters)