Yuan Turun, Turis China Berhenti Belanja
Lebih dari 100 juta orang China melakukan perjalanan keluar negeri setiap tahun, membeli barang mewah lebih banyak
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM. PARIS/HONG KONG— Para turis China yang banyak terlihat di kota-kota besar dunia khawatir kemampuan belanja mereka menurun akibat devaluasi yuan yang mengejutkan hari Selasa (11/8/2015).
Lebih dari 100 juta orang China melakukan perjalanan keluar negeri setiap tahun, membeli barang mewah lebih banyak dibandingkan dengan turis dari negara lain. Belanja parfum dan pakaian desainer yang harganya dua kali lipat di negara mereka adalah daya tarik utama untuk melakukan perjalanan keluar negeri.
"Saya berencana pergi ke Seoul bulan ini dengan teman-teman saya lalu ke Thailand sendirian pada bulan Oktober. Tapi saya khawatir yuan akan terdevaluasi lebih besar," kata Xuechang Huang, seorang ibu rumahtangga berusia 48 tahun dari Guangzhou, kepada Reuters. "Jadi sepertinya saya tidak akan pergi ke Seoul untuk belanja, hanya ke Thailand untuk cuci mata."
Huang Ruifen, seorang pemilik toko dari Guangxi juga telah mengambil keputusan untuk perjalanan belanjanya ke Hong Kong. "Saya akan berhenti membeli barang-barang mewah sampai nilai yuan naik lagi," ujarnya.
China mendevaluasi mata uangnya hingga 2 persen setelah kinerja ekonomi yang buruk, gerakan yang menurut para ekonom bisa memicu penurunan jangka panjang nilai tukar mata uang tersebut.
Langkah ini adalah langkah terbesar yang diambil sejak devaluasi besar-besaran pada tahun 1994, dan tampaknya dibuat untuk membalikkan kebijakan yuan yang kuat sebelumnya.
Para investor memperkirakan perusahaan-perusahaan seperti perusahaan induk Louis Vuitton, LVMH, pemilik Gucci, Kering dan L'Oreal bisa terkena dampaknya. Saham-saham perusahaan ini termasuk yang turun paling banyak pada pasar saham Paris, turun antara 1,5 dan 4 persen. Mereka menolak mengeluarkan komentar tentang hal ini.
Belanja di luar negeri, jual kembali di negara sendiri
Para turis China mencatat rekor pembelian barang-barang mewah tahun ini, menurut perusahaan pengembalian pajak belanja Global Blue dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada bulan April. Lemahnya euro menjadi alasan para turis China berkunjung ke Eropa.
Para pengamat memperkirakan daya beli barang mewah orang China sebesar 45 persen dari pasar global, naik dari nol satu dekade lalu. China berkontribusi terhadap sepertiga total daya beli barang-barang mewah di Eropa.
Apapun reaksi pasar, dampak dari nilai tukar berbeda-beda bagi industri barang mewah ini. Global Blue mengatakan sebanyak 40 persen barang-barang yang dibeli turis China di luar negeri adalah untuk dijual kembali di rumah mereka di pasar gelap, jadi yuan yang lemah mungkin menambah jumlah orang yang belanja di China.
Margin sektor mewah juga biasanya lebih tinggi di Asia, walaupun efek nilai tukar bagi perusahaan-perusahaan yang berbasis di Eropa bisa mengurangi sedikit keuntungan.
"Secara garis besar menurut saya kelihatannya akan berdampak negatif," kata pengamat barang-barang mewah dari Nomura, Christopher Walker, "(tapi) semakin sulit untuk dimonitor... Semua perusahaan-perusahaan mewah berusaha untuk mengelola harga dan perbedaanya. Dan ini menimbulkan pertanyaan lagi terkait harga dan membuat sulit mengelola bisnis barang mewah."
Nilai kerugian yang disebabkan oleh kebijakan ini jumlahnya besar dan semakin cepat bertambah.