Kenapa Negara-Negara Kaya Arab Tak Peduli Pengungsi Suriah?
kemakmuran dan kedekatan negara-negara Arab Teluk dengan Suriah telah menimbulkan banyak pertanyaan soal apakah mereka punya kewajiban lebih besar ket
TRIBUNNEWS.COM, BEIRUT — Saat negara-negara Barat bergulat dengan krisis pengungsi paling serius sejak Perang Dunia II, sebagian besar dari mereka yang melakukan perjalanan sangat berbahaya itu berasal dari Suriah, ada keprihatinan mendalam terkait kegagalan negara-negara Arab Teluk yang kaya minyak untuk membuka pintunya bagi para pencari suaka.
Letak Suriah berdekatan dengan negara-negara Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain, dan Kuwait.
Namun, para pengungsi Suriah selama beberapa tahun terakhir justru menyeberang ke Lebanon, Jordania, dan Turki. Kini mereka pergi lebih jauh lagi, Eropa.
BBC pekan lalu melaporkan, kemakmuran dan kedekatan negara-negara Arab Teluk dengan Suriah telah menimbulkan banyak pertanyaan soal apakah mereka punya kewajiban lebih besar ketimbang negara-negara Eropa. Pertanyaan itu muncul dalamhashtag #Welcoming_Syria's_refugees_is_a_Gulf_duty di media sosial Twitter berbahasa Arab.
Sebuah laman Facebook bernama The Syrian Community in Denmark berbagi video yang menggambarkan pengungsi diperbolehkan masuk Austria lewat Hongaria, dan membuat pengguna lain bertanya, "Mengapa mereka kabur dari wilayah saudara-saudara kita sesama Muslim, yang seharusnya lebih bertanggung jawab, ketimbang ke negara-negara yang mereka sebut sebagai "negara kafir"?" Pengguna lain menjawab, "Saya bersumpah atas nama Allah yang Maha Perkasa, orang-orang Arab itulah yang kafir."
BBC juga mengutip harian Makkah yang bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan lewat media sosial. Kartun itu memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk.
Dia melihat ke sebuah pintu berpagar kawat berduri dan menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?" Kartun ini secara jelas menyindir keras sikap pemerintah negara-negara Teluk.
Namun, benarkah negara-negara Teluk tidak peduli dengan penderitaan tetangganya.
The Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (10/9/2015), melaporkan bahwa sesungguhnya negara-negara itu telah berada di antara para donor terbesar dunia untuk membantu para pengungsi Suriah.
Bantuan-bantuan mereka disalurkan melalui badan-badan PBB dan badan amal swasta.
Para migran dari Suriah dan Afganistan menuntut agar mereka bisa melakukan perjalanan ke Jerman dalam protes di luar stasiun kereta di Budapest, Hungaria Rabu (2/9/2015).
Dengan GDP tahunan yang jika digabung mencapai sekitar 2 triliun dollar AS untuk populasi kolektif kurang dari 55 juta jiwa, negara-negara itu sangat mampu untuk bermurah hati.
Namun, negara-negara Teluk juga harus mempertahankan keputusan mereka, yaitu tak ada pemukiman kembali buat pengungsi Suriah.
SMH mengutip Amnesty International yang mengatakan bahwa negara-negara Teluk "karena kedekatan geografis, hubungan sejarah dengan Suriah, dan potensi integrasi yang relatif mudah karena punya kesamaan bahasa dan agama, harus melakukan kontribusi yang signifikan terhadap pemukiman kembali para pengungsi Suriah."
Lembaga itu mencatat negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya, seperti Rusia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan, juga menetapkan kebijakan tidak ada opsi pemukiman kembali bagi para pengungsi.
Kuwait sejauh ini merupakan donor paling dermawan dengan memberikan hampir sepertiga dari semua bantuan yang dijanjikan untuk krisis Suriah melalui PBB, atau sebesar 800 juta dollar AS sejak 2012. Sementara UEA telah memberikan 364 juta dollar AS, tulis Jane Kinninmont, peneliti senior di Progam Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, Selasa (8/9/2015), seperti dikutipSMH.
Masih menurut Kinninmont, jumlah itu memang kecil dibanding bantuan Inggris sebesar 1 miliar dollar AS atau sebanyak 3 miliar dollar, tetapi angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan PDB negara bersangkutan.
"Ini bukan isu spesifik tentang permusuhan terhadap pengungsiSuriah: enam monarki Teluk itu tidak pernah menandatangani konvensi internasional tentang hak-hak pengungsi dan orang yang tidak punya kewarganegaraan," tulis Kinninmont.
Kendati demikian, negara-negara Teluk pernah menerima mereka yang melarikan diri dari perang dan penganiayaan. Walaupun mereka tidak pernah disebut sebagai pengungsi, banyak warga Palestina, Lebanon, dan Yaman tinggal di Teluk setelah mengungsi dari konflik di negara mereka sendiri, kata Sultan Sooud al-Qassemi, pengamat Teluk dan Media Labs Director's Fellow di Massachusetts Institute of Technology.
"Ada juga preseden di mana negara-negara Teluk menerima pengungsi," tulisnya di International Business Times. "Seperempat abad lalu, ratusan ribu warga Kuwait diberi perlindungan di Teluk setelah invasi ... Saddam Hussein."
"Kuwait telah memberikan izin tinggal jangka panjang bagi 120.000 warga Suriah. Itu berarti, mereka tidak akan diminta meninggalkan negara itu jika status legalnya berakhir," kata al-Qassemi.
Uni Emirat Arab telah melakukan hal yang sama terhadap 242.000 warga Suriah. Namun, Michael Stephens, peneliti studi Timur Tengah di Royal United Services Institute, kepada Fairfax Mediamengatakan, memberikan izin bagi pekerja terampil berbeda dengan menawarkan tempat yang aman bagi para pengungsi.
Dia melanjutkan, benar bahwa negara-negara Teluk telah memberikan kontribusi besar untuk mendukung pengungsi Suriah di Lebanon, Jordania, dan Turki. Namun, keyakinan mereka bahwa itu sudah cukup, padahal masih ada ratusan ribu warga Suriah yang melarikan diri dari perang dan berada dalam kondisi menyedihkan di kamp-kamp pengungsi, adalah sesat.
"Semua orang berbicara tentang solusi kemarin ... tetapi menjadi penolong buat para pengungsi tahun 2012 tidak menjadi alasan bagi Anda untuk menghindar dari kenyataan tahun 2015, solusi saat ini adalah terkait para pengungsi yang ingin datang ke negara Anda. Tampaknya identitas nasionalis Arab Teluk lebih kuat daripada kewajiban moral untuk menampung pengungsi di dalam negara mereka."
Pria pengungsi jatuh ke tanah dengan anaknya berada di bawahnya sementara perempuan juru kamera yang menendangnya menonton. Adegan ini terjadi di dekat perbatasan Hongaria dengan Serbia saat para migran dari Timur Tengah lari dari kejaran polisi Hongaria.
Dia mengatakan, pada akhirnya masalah pengungsi Suriah bukan hanya masalah Arab Teluk. Hal itu menjadi persoalan Teluk serta negara-negara Barat untuk bekerja sama. "Sekarang waktunya untuk stop bertengkar, mari bekerja sama dan menemukan solusi."
Sementara pertengkaran berlanjut, konflik di Suriah dan dampaknya, yaitu krisis pengungsi, meningkat selama musim panas di utara, kata Maya Yahya, peneliti senior di Carnegie Middle East Centre.
"Tidak ada tempat berlindung yang aman, tidak ada tempat di mana orang merasa aman atau merasa dapat mengamankan apa pun di masa depan, tidak untuk diri mereka sendiri maupun untuk anak-anak mereka."
Negara-negara Teluk berusaha untuk menjaga stabilitas politik, dan ada kekhawatiran bahwa para pengungsi akan menimbulkan ketidakstabilan.
Yahya hanya mempunyai secuil harapan bahwa negara-negara Teluk akan memperlunak sikapnya. "Bahkan dengan kritik keras yang bakal dihadapi Teluk, saya tidak melihat akan ada perubahan situasi."
Sementara itu, Turki, Lebanon, Jordania, Irak, dan Mesir terus menanggung beban sebagian besar dari empat juta pengungsi Suriah yang melarikan diri dari perang saudara yang telah menewaskan sedikitnya 250.000 orang dan menyebabkan sekitar tujuh juta orang lainnya mengungsi di dalam negeri. Turki, Lebanon, dan Jordania telah memikul sebagian tanggung jawab. Lebanon, misalnya, seperempat penduduknya adalah pengungsi Suriah. (smh.com.au/Kompas.com/Egidius Patnistik)