Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Suara dari Roma, Kerukunan Beragama di Indonesia Menunjukkan Kemajuan

Konflik agama tidak melulu selalu diawali dari persoalan agama itu sendiri tetapi dapat berawal juga dari persoalan sosial kemasyarakatan lainnya.

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Suara dari Roma, Kerukunan Beragama di Indonesia Menunjukkan Kemajuan
IST
PERTEMUAN IRRIKA - Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Ignatius Suharyo dan Ketua Komisi Keluarga Mgr Frans Kopong (duduk di tengah berjaket putih dan hitam) berfoto bersama dengan anggota Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Katolik Indonesia Di Kota Abadi (IRRIKA) di Collegio St. Petro, Roma, Minggu (25/10) setelah penjelasan hasil Sinode Para Uskup seluruh dunia di Vatican. 

TRIBUNNEWS.COM, ROMA - Meskipun masih terdapat beberapa kasus terkait dengan kebebasan beragama, namun pada dasarnya terdapat kemajuan yang sangat signifikan dalam kerukunan umat beragama di Indonesia.

Oleh karena itu para pemuka agama didorong untuk terus berpikiran positif dalam membangun kebersamaan perdamaian berdasarkan Pancasila.

Demikian diungkapkan oleh Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (FORKOMA PMKRI) Hermawi Franziskus Taslim di depan ratusan anggota Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Katolik Indonesia di Kota Abadi (IRRIKA), yang sedang melakukan studi di Italia, Minggu (25/10).

Melalui rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com, beberapa tokoh bersama Taslim juga turut berbicara di Collegio St Petro, Roma itu, Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Bangsa), AM Putut Prabantoro.

Keduanya menjadi pembicara atas permintaan Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Ignatius Suharyo, yang baru saja mengikuti Sinode Para Uskup Sedunia bersama Mgr Frans Kopong, Ketua Komisi Keluarga – KWI di Vatikan.

Kehidupan keagamaan, Taslim menjelaskan, harus dibangun dalam semangat kesetaraan dan saling menghormati.

Konflik agama tidak melulu selalu diawali dari persoalan agama itu sendiri tetapi dapat berawal juga dari persoalan sosial kemasyarakatan lainnya.

Berita Rekomendasi

Oleh karena itu, Taslim menegaskan, para pemuka agama harus sering bertemu dalam konteks kebudayaan dan sosial dengan membangun aksi nyata.

Taslim mendorong para pemuka agama dan adat untuk menghindari dialog-dialog semu yang sifatnya seremonial belaka.

“Kita harus melakukan tindakan nyata di lingkungan di mana kita hidup dan sekaligus juga peka terhadap persoalan yang muncul di masyarakat sekitar. Persoalan muncul ketika para pemuka agama tidak peka terhadap dunia sekitar,” ujarnya.

Sementara itu, Putut Prabantoro meminta para rohaniwan-rohaniwati Katolik untuk tetap optimis dalam membangun persatuan bangsa melalui agama, budaya, suku dan adat istiadat.

Cara yang terbaik, Putut Prabantoro mengusulkan, para pemuka agama untuk menyosialisasikan pemikiran-pemikiran pluralisme dan nasionalisme dengan menulis di media masa.

“Mencerahkan kehidupan bersama dalam konteks kerukunan beragama harus dapat dipertanggungjawabkan secara publik."

"Dengan menulis di media masa, bangsa Indonesia akan tercerahkan dan sekaligus terdorong untuk membangun persatuan Indonesia sebagaimana dicita-citakan para pendiri negara."

"Jadi menulis di media ukurannya bukanlah soal siapa tetapi soal substansi pemikiran yang ditelorkan,” tegas Putut Prabantoro.

Menurutnya, opini itu tidak mengenal agama, suku ataupun ras.

Opini di media, demikian ditegaskan Putut, akan memiliki nilai ketika bisa menggerakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang positif.

Oleh karenanya, adalah perlu bagi para pemuka agama untuk menguji secara publik pemikiran-pemikirannya.

Hermawi Taslim dan AM Putut Prabantoro berada di Roma dalam rangka memenuhi undangan Vatikan untuk hadir dalam Konferensi Internasional Peringatan 50 tahun dokumen NOSTRA AETATE (Pada Zaman Kita) pada 28 OKtober 1965.

Nostra Aetate adalah, satu dari 16 dokumen independen dan normatip dari Konsili Vatikan II yang ditandatangani oleh Paus Paulus VI, pada saat-saat menjelang penutupan Konsili.

Dokumen tersebut berisi manifestasi sikap keterbukaan Gereja Katolik dalam membangun dan sekaligus memperkokoh hubungan umat Katolik dan pemeluk-pemeluk agama Non-Kristen.

Perayaan pesta emas itu sendiri dibentuk dalam kemasan momentum kenangan, syukur dan pembaruan komitmen.

Acara yang akan berlangsung dari tanggal 26 – 28 Oktober ini akan dihadiri para tokoh dan pemimpin agama dari berbagai belahan bumi, juga para peserta dari berbagai kalangan.

Tiga tema besar yang menjadi bahasan dalam perayaan tersebut yakni Dialog Agama sebagai Pelayanan Terhadap Manusia, Kekerasan dan Peran Agama Untuk Perdamaian, dan Tantangan Terhadap Kebebasan Beragama.

Pada akhir selebrasi 50 tahun Nostra Aetate, para peserta akan bertatap muka dengan Paus Fransiskus dalam acara audiensi umum.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas