Ahli Matematika Malah Jadi Penari di Jepang
Awalnya sih gak tertarik Jepang, malahan tertarik Belanda
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Nasib orang memang berbeda-beda dan kadang kita sendiri tak mengerti jalannya ke arah lain.
Seperti penari Indonesia cantik yang masih muda ini, Gini Nalar Arjani (25), ahli matematika, guru matematika, malah kini fokus jadi penari Indonesia di Jepang.
"Saya belajar nari dari usia 6 tahun selama sekolah dasar baik tarian Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Lalu SMP fokus 3 tahun tari Betawi dan SMA fokus tari Saman dari Aceh. Kemudian ambil sanggar tari Bali 4 tahun full sampai lulus universitas jurusan matematika sambil ikut ujian negara mendapatkan sertifikat dari Depdikbud. Lalu setelah lulus jadi guru Matematika," paparnya khusus kepada Tribunnews.com baru-baru ini.
Ketagihannya menari sampai-sampai saat pertama kali ke luar negeri ke Thailand untuk menari dengan undangan dari menteri perdagangan hanya semalam di negeri gajah putih tersebut.
"Saat itu saya sudah janji sama ayah, saat wisuda pasti hadir. Jadi saya ke Thailand, menari, lalu balik lagi ke Jakarta tiba jam 1 pagi dan jam 4 pagi sudah harus siap-siap di wisuda. Ayah juga bilang tak boleh sekolah tari, cukup sanggar saja," jelasnya lagi.
Namun kini setelah menikah dengan orang Indonesia tahun 2006 malah ke Jepang dan meneruskan tarinya di Jepang bersama teman Indonesia lainnya.
"Awalnya saya tak punya tema lalu suami cari-cari di Facebook ketemu mbak Atin (Uehara Sutini, 47) dan sampai kini kita aktif menari bersama di berbagai kegiatan di Jepang," ungkapnya lagi.
Gadis cantik yang mengaku hanya mau dengar yang positif saja, hanya mengotorkan energi saja kalau dengar yang jelek, "I don't care yang jelek," katanya, tampak tersadarkan juga dengan kenyataan yang ada saat ini.
"Awalnya sih gak tertarik Jepang, malahan tertarik Belanda karena ilmu matematika saya bisa berkembang di sana. Tapi jodoh di sini, ya sementara matematika vacuum dulu deh ya," lanjutnya sambil tertawa.
Lain lagi dengan Atin yang memang sejak kecil sudah fokus dengan tarian.
"Sedih rasanya hampir tak ada karena memang sejak kecil suka tari sejak kelas dua sekolah dasar. Dekat rumah saya juga ada mahasiswa Institut Seni Indonesiapesta di tiap wilayah ikut kecanduan sampai sekarang atin. Lalu di tiap wilayah ada pesta saya ikut serta eh malah keasyikan. Lalu SMA sekolah tari kejuruan tari Nusantara ya Bali, Jawa Klasik dan sebagainya," ungkap Atin kepada Tribunnews.com.
Kalau di Jepang, Atin mengakui belajar tarian otodidak dengan membuka YouTube mencari sendiri lalu belajar dari sana berbagai tarian.
Kemudian mengikuti perjalanan karir kerja suami orang Jepang, Atin pun ke Numazu di perfektur Shizuoka. Ikut berbagai kegiatan internasional di sana. Akhirnya kesenangan yang terpendam muncul kembali menari di kegiatan internasional di sana, paparnya.
Akhirnya balik ke Wakoshi perfektur Saitama ke kampung halaman suaminya dan fokus di Tokyo dua tahun terakhir ini sambil ikut menari dengan teman-teman Indonesia lainnya di berbagai kegiatan, termasuk acara-acara yang dilakukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
"Ya kalau kita menari di KBRI dapat 10.000 yen per orang. Kita sendiri tak minta berapa relakan semua kepada KBRI. Yang penting bisa memberikan kebahagiaan kepada para tahu memperkenalkan kesenian dan budaya Indonesia kita khususnya kepada orang Jepang dan tamu lainnya," jelas Atin.
Lain lagi kisah enari yang cantik ini pula, Phepy Nurdinah (35) yang juga bersuamikan orang Jepang, sering kali berkacamata ganteng kalau jalan bersama-sama.
"Saya tuh mas wakyu kecil usia 3-5 tahun suka dipukuli pake kayu kalau menarinya tidak benar. Ingat deh kejadian itu," papar Phepy sambil tertawa mengenang masa kecilnya.
Karena saat latihan menari sering kali lupa tak hafal gerakannya, tekannya lagi. Tapi ya akhirnya jadi sangat fokus saat ini kalau menari sehingga gerakannya profesional kalau kita menari tarian yang dibawakan Phepy saat ini.
"Dulu bahkan saya pertama kali menari ke luar negeri ke Singapura saat SMA kelas tiga sekitar tahun 1997, senang juga sih dan tak terlupakan kayaknya," tambahnya.
Kini dengan domisili dan suaminya orang Jepang, Phepy semakin ingin fokus mempelajari tariannya di sana sini.
Baju-baju tarian Phepy pun suka dipinjam teman tarinya karena di Jepang memang tak ada toko penjual baju tarian Indonesia, "Jadi ya kita beli langsung di sanggar di Indonesia kalau mau baju tarian Indonesia dan perlengkapannya."
Itulah mungkin warna-warni kehidupan para penari Indonesia yang mungkin bisa menjadi "pahlawan" bagi seni dan budaya Indonesia di Jepang, memperkenalkan kepada warga Jepang keragaman budaya khususnya tarian Indonesia.
Mereka adalah para penarik Indonesia yang berdomisili di Jepang dan semuanya tergabung ke dalam Komunitas Budaya Indonesia di Jepang (KSBIJ) yang bertujuan untuk mempromosikan budaya dan seni Indonesia di Jepang dengan para member adalah para ahli atau spesialis seni dan budaya Indonesia yang ada di Jepang.
Kumpulan mereka bisa dilihat di Facebook yang dapat diakses gratis di: https://www.facebook.com/groups/budayaindonesiajepang/ dengan jumlah spesialis seni dan budaya Indonesia di Jepang saat ini 32 orang dan terus bertambah dari waktu ke waktu.