Kelompok Abu Sayyaf Pasti Kalah dari Pasukan Tempur TNI
Pasti kalah dengan pasukan tempur, apalagi pasukan komando
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kemampuan dan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) cukup memadai melawan dan mengalahkan kelompok Abu Sayyaf Filipina yang menyandera 10 Warga Negara Indonesia (WNI).
"Saya meyakini kemampuan pasukan TNI cukup memadai melawan kelompok ini," ujar Peneliti terorisme dan intelijen Ridlwan Habib kepada Tribunnews.com, Selasa (29/3/2016).
Bagaimanapun, menurut Ridlwan, kelompok Abu Sayyaf adalah militan sipil non kombatan.
"Pasti kalah dengan pasukan tempur, apalagi pasukan komando," katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kelompok Abu Sayyaf merupakan spesialis menculik dan meminta tebusan.
Pemimpinnya Isnilon Hapilon alias Abu Abdullah sebenarnya kondisinya sudah sakit, tapi anggotanya masih banyak dan militan.
Kelompok Abu Sayyaf ini berbasis di Basilan.
Mereka juga mempunyai pos-pos militer di pulau pulau kecil antara Sulu hingga perbatasan Lahaddatu, Malaysia.
"Pada tahun 2013 ada serangan gerilyawan Sulu ke Lahaddatu, saat itu sebagian anggota Abu Sayyaf masuk," jelas Ridlwan yang pada Maret 2013 melakukan penelitian operasi militer Daulat Malaysia di Lahaddatu.
Kelompok ini mahir dalam pertempuran laut karena berasal dari wilayah nelayan.
"Mereka cukup menjadi legenda karena mampu melakukan penyelaman bawah air tanpa alat yang itu membuat pihak Filipina selalu kehilangan jejak,"kata alumni S2 Intelijen UI itu.
Kelompok ini sudah dikatagorikan gerakan terorisme Internasional.
Isnilon bahkan dihargai kepalanya oleh Amerika Serikat sebesar 5 miliar dolar AS.
Ridlwan Habib menjelaskan kelompok yang terkenal kejam dan bengis ini sudah bergabung ke ISIS sejak Januari lalu.
"Kalau yang menculik adalah Abu Sayyaf Group, maka itu sudah berganti nama menjadi Harakatul Islamiyah dan berbaiat ke Isis sejak Desember 2015," ujar Ridlwan.
Menurut Ridlwan, kelompok Abu Sayyaf berbaiat ke ISIS dan bersumpah setia pada khilafah Abu Bakar Al Baghdady.
Operasi Pembebasan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus segera memerintahkan upaya penyelamatan maksimal terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga disandera kelompok Abu Sayyaf, di Filipina.
"Negara harus semaksimal mungkin melakukan operasi pembebasan sandera yang senyap dan taktis," ujarnya.
Menurut pengamat intelijen ini, pengalaman pembebasan sandera sebelumnya di Somalia, dengan pelibatan satuan satuan TNI sudah teruji.
"Kejadian ini sudah bukan juridiksi Polri karena termasuk ancaman bagi keselamatan warga negara dari kekuatan bersenjata asing," katanya.
Karena itu menurutnya Presiden Jokowi bisa segera memerintahkan instansi terkait untuk melakukan upaya semaksimal mungkin bagi keselamatan warga negaranya.
Kronologis
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menjelasakan mengenai kasus penyanderaan 10 Warga Negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf Filipina.
Melalui keterangannya, Selasa (29/3/2016), Kemlu membenarkan bahwa telah terjadi pembajakan terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batubara dan 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Saat dibajak kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting (Kalsel) menuju Batangas (Fililina Selatan).
Tidak diketahui persis kapan kapal dibajak.
"Pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016, pada saat menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf," demikian isi keterangan tertulis Kemlu kepada Tribunnews.com.
Lebih lanjut dijelaskan Kapal Brahma 12 sudah dilepaskan dan saat ini sudah di tangan otoritas Filipina.
Sementara itu kapal Anand 12 dan 10 orang awak kapal masih berada di tangan pembajak, namun belum diketahui persis posisinya.
Dalam komunikasi melalui telepon kepada perusahaan pemilik kapal, pembajak/penyandera menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan.
"Sejak tanggal 26 Maret, pihak pembajak sudah dua kali menghubungi pemilik kapal," sebut Kemlu.(*)