Abu Sayyaf dan Sejarah Sandera WNI di Filipina Selatan
Kelompok Abu Sayyaf atau di Filipina lazim disebut Abus mulai menyandera sejak April 2000.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Kelompok Abu Sayyaf atau di Filipina lazim disebut Abus mulai menyandera sejak April 2000.
Lino Miani dalam buku "The Sulu Arms Market National Responses to Regional Problem" mengungkapkan, organisasi itu awalnya adalah kelompok teror yang melakukan 76 serangan dalam kurun 1991-1996 sebelum jadi organisasi kriminal pada 2000-an.
Sebagai organisasi kriminal, Abu Sayyaf Group (ASG) menjalankan penyanderaan, perdagangan senjata, dan narkoba. ASG berjejaring dengan organisasi kriminal dan teror Yakuza Jepang, Triad Hongkong, Malaysia, Indonesia, Iran, Irak, Sri Lanka, Palestina, Mesir, Chechnya, Uzbekistan, dan Yaman.
Penyanderaan pertama tercatat dilakukan di Pulau Sipadan- yang saat itu masih disengketakan Indonesia dan Malaysia pada April 2000 dengan sasaran 25 wisatawan.
Korban penculikan berasal dari sejumlah negara. Warga negara Barat menjadi sasaran utama karena dianggap menghasilkan uang besar bagi ASG.
Warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban pertama Abu Sayyaf dalam catatan Kompas adalah sembilan anak buah kapal (ABK) dari kapal tunda Christian yang diculik di perairan Laut Sulu akhir 2004 (Kompas, 21/9/2005).
Tidak ada berita tentang pembebasan sembilan WNI tersebut.
Selanjutnya, penculikan tiga ABK kapal berbendera Malaysia yang disergap di perairan antara pantai timur Sabah dan sebelah barat Tawi-Tawi di Kepulauan Sulu pada 30 Maret 2005.
Ketika itu, politisi Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, tokoh pejuang Moro, Nur Misuari, memberikan jaminan keselamatan terhadap nyawa para WNI itu selama mereka masih berada di Pulau Sulu (Kompas, 1/6/2005).
Pemerintah Indonesia menolak membayar uang tebusan tiga juta ringgit Malaysia (setara Rp 7,5 miliar waktu itu). Para sandera adalah Erikson Hutagaol (23) asal Porsea, Sumatera Utara, Ahmad Resmiadi (32) asal Jakarta, dan Yamin Labuso (26) asal Ternate, Maluku Utara.
Ketika itu, Hutagaol dan Labuso dapat dibebaskan pada 12 Juni 2015, yang menurut Departemen Luar Negeri RI, dilakukan pihak Komando Selatan Militer Filipina dengan operasi intelijen.
Sandera disebutkan dibebaskan pukul 03.00 setelah didahului tembak-menembak (Kompas, 13/6/2005).
Pemerintah RI menyatakan tidak bisa memenuhi tuntutan tebusan apalagi tuntutan itu disampaikan ke perusahaan Malaysia pemilik kapal tunda tempat tiga WNI tersebut bekerja.
Meski demikian, disebutkan Pemerintah Indonesia mengirimkan bantuan obat-obatan dan logistik untuk kepentingan sandera WNI.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menghubungi Presiden Gloria Arroyo Macapagal dalam penanganan sandera tersebut.
Selang beberapa bulan kemudian, pada 16 September 2005, Ahmad Resmiadi berhasil dibebaskan. Kombes Benny Mamoto dalam wawancara Kompas, 21 September 2005, mengatakan, Ahmad dievakuasi dari sarang penyandera yang berjarak satu jam jalan kaki dari pantai Pulau Sulu atau Jolo.
Jeda 10 tahun
penculikan oleh ASG terus berlanjut dengan korban dari berbagai kebangsaan.
Tak terdengar WNI menjadi korban serangan dan penyanderaan lagi sejak 2005 hingga peristiwa yang menimpa 10 awak kapal tunda Brahma 12 pada 24 Maret 2015 sekitar pukul 13.30.
Kapal penarik tongkang batubara itu disergap di perairan Laut Sulu. Kapal tunda Brahma 12 berangkat dari Banjarmasin pada 15 Maret 2016 dengan 10 awak berasal dari berbagai daerah seperti Sulawesi Utara, Poso di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah dan Jakarta.
Sepuluh ABK itu berhasil dibebaskan 1 Mei lalu dan dijemput Tim Kemanusiaan Yayasan Sukma yang dipimpin Ahmad Baedowi dan politisi Viktor B Laiskodat.
Peristiwa ke-4, yakni penyergapan kapal tunda Henry saat berlayar pulang dari San Fernando, Cebu, menuju Tarakan pada 14 April pukul 18.30.
Kapal itu baru saja mengantarkan batubara yang sangat penting bagi pembangkit listrik di Filipina.
Empat dari 10 ABK yang disandera adalah Mochammad Ariyanto Misnan (22), Loren Marinus Petrus Rumawi (28), Dede Irfan Hilmi (25) dan Samsir (35).
Mereka berhasil dibebaskan tim gabungan TNI dan diangkut dengan KRI ke Tarakan, 10 Mei 2016.
Pada pembebasan ABK kapal tunda Brahma 12 dan Henry disebut tidak ada pembayaran uang tebusan oleh Pemerintah Indonesia.
Ditegaskan, pembebasan itu adalah hasil kerja sama semua pihak dan diplomasi total dengan pemerintah Manila serta pemerintah otonomi Moro di Kepulauan Sulu.
Kini, penyanderaan ke-5 menimpa ABK kapal tunda Charles 001 yang melanggar larangan berlayar ke Filipina.
Sebanyak tujuh ABK disandera ASG, pembebasannya sedang diupayakan.
Kapal itu diserang pada 21 Juni 2016 saat berlayar melintasi selat antara Pulau Sulu dan Pulau Basilan.
Padahal, jalur aman yang disarankan adalah melalui selat antara Zamboanga dan Pulau Basilan.
Mantan petinggi Badan Intelijen Strategis (Bais) Mayjen (Purn) Sudrajat mengatakan, untuk mengatasi kondisi keamanan yang buruk tidak bisa hanya dilakukan pendekatan keamanan.
"Secara sosial ekonomi, kawasan itu juga harus dibangun. Langkah membuka akses ekonomi dan transportasi dari Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara ke Filipina selatan merupakan langkah bijak," kata Sudrajat.
Mantan Kepala BAIS Laksamana (Purn) Soleman Ponto mengatakan, untuk mengatasi Abu Sayyaf, berbagai pilihan harus dipertimbangkan. Namun, keselamatan sandera WNI tetap prioritas.