Warga Marawi Sandera Maute Dipaksa Gabung ISIS dan Jadi Budak Seks
Dengan menjadi mualaf, para sandera juga dipaksa untuk ikut bertempur sebagai militan Maute
Penulis: Ruth Vania C
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, MARAWI - Warga Marawi yang menjadi sandera kelompok Maute dikabarkan dipaksa bergabung dengan ISIS dan dijadikan budak seks.
Berakhirnya bulan Ramadan ditandai dengan dimulai kembalinya pertempuran di Kota Marawi, Filipina.
Selasa (27/6/2017), juru bicara militer Filipina melaporkan bahwa adanya kesaksian mengerikan dari sejumlah sandera yang berhasil kabur dari Marawi.
Menurut laporan mereka, para sandera yang masih ada di kota itu dipaksa untuk menjadi mualaf dan membantu anggota militan Maute yang terluka.
Selain itu, juru bicara Divisi Infanteri 1 Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) Letkol Jo-Ar Herrera juga mengatakan sandera perempuan dipaksa untuk menikahi militan Maute.
"Mereka pun dipaksa untuk menjadi budak seks, demi menghancurkan martabat mereka sebagai perempuan," jelas Jo-Ar Herrera.
Dengan menjadi mualaf, para sandera juga dipaksa untuk ikut bertempur sebagai militan Maute, yang sudah mengklaim setia terhadap ISIS.
"Ini yang terjadi di kota itu, ada buktinya. Sungguh jahat dan mengerikan," kata Jo-Ar Herrera.
Meski diakui terbukti, laporan tersebut belum dapat segera diverifikasi.
Sebelumnya, ada juga kesaksian dari sejumlah sandera yang selamat soal banyaknya jenazah warga Marawi yang dibiarkan berserakan di jalan.
Sebagian besar dari 200 ribu warga Marawi telah melarikan diri dari kota berpenduduk mayoritas muslim itu, sejak diserbu Maute pada 23 Mei.
Meski berulangkali digempur oleh serangan udara dari pasukan pemerintah, Maute tetap dapat menahan kendalinya di kota itu selama lima minggu terakhir ini.
Sejauh ini konflik di Marawi sudah menewaskan sebanyak 387 orang, yang termasuk di antaranya 27 warga sipil dan 70 anggota militer Filipina.
Sedangkan, ratusan hingga ribuan warga sipil diperkirakan masih bertahan hidup di zona konflik tersebut, yang diprediksi akan bernasib seperti korban konflik di Suriah dan Irak. (Telegraph/Reuters)