Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

"Lebih Baik Kami Mati di Sini, Kami Tak Mau Pulang"

"Saya masih menunggu kerabat lain. Begitu kami semua berkumpul, kami akan segera pergi (ke Bangladesh)," kata Abdullah.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in
TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR
Sejumlah warga Rohingya bersama berbagai elemen Islam melakukan aksi terkait pembantaian warga Muslim di Myanmar, saat di DPRD Sumatera Utara, Medan, Rabu (30/8/2017). Pengunjuk rasa mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menekan pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan masalah pembantaian masyarakat muslim Rohingnya. TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR 

TRIBUNNEWS.COM, MYANMAR - Abdullah, laki-laki berusia 25 tahun, tak kuasa menahan air mata.

Ia adalah satu dari ribuan warga Muslim Rohingya yang harus menyelamatkan diri ke Bangladesh, menyusul pecahnya kekerasan di Rakhine, Myanmar, pekan lalu.

"Sangat menakutkan. Rumah-rumah dibakar, orang-orang berlarian meninggalkan rumah mereka, anak dan orang tua terpisah, beberapa di antaranya hilang, yang lainnya tewas," kata Abdullah kepada kantor berita Reuters, hari Rabu (30/08/2017).

Abdullah berasal dari Desa Mee Chaung Zay, di kawasan Buthidaung, di negara bagian Rakhine. Ia mengatakan empat dari enam kampung di desanya 'dibakar oleh aparat keamanan, yang membuat warga menyelamatkan diri ke negara tetangga, Bangladesh'.

Baca: Tentara Myanmar Tembaki Kaum Rohingya Membabi-buta, Anak-Anak dan Balita Tewas Bergelimpangan

Bersama ribuan warga desa, Abdullah mengungsi ke kaki Pegunungan Mayu. Ia mengungsi bersama istri dan anak perempuannya yang baru berusia lima tahun. Ia membawa beras ketan, beberapa lembar plastik bekas dan botol-botol air yang kosong.

Inilah bekal berjalan kaki selama beberapa hari melewati pegunungan untuk menuju perbatasan Bangladesh. Jarak yang ia tempuh bersama warga Rohingya lain sekitar 20 kilometer.

Berita Rekomendasi

"Saya masih menunggu kerabat lain. Begitu kami semua berkumpul, kami akan segera pergi (ke Bangladesh)," kata Abdullah.

Para pejabat PBB mengatakan hingga Rabu (30/08), jumlah warga Rohingya yang telah melewati perbatasan dan masuk ke Bangladesh lebih dari 18.000 orang, di antaranya adalah perempuan muda bernama Noor Begum.

"Jika kami kembali ke desa kami (di Rakhine), kami pasti akan dibunuh oleh tentara. Jangan paksa kami kembali ke sana," kata Begum dengan berurai air mata kepada BBC di perbatasan Bangladesh-Myanmar.

"Lebih baik kami mati di sini, kami tak mau pulang," katanya.

Gelombang pengungsian terbaru dipicu oleh serangan mematikan terhadap pos-pos keamanan di Rakhine oleh milisi Rohingya yang dibalas dengan operasi keamanan oleh militer Myanmar.
'Trauma yang mendalam'

Wartawan AFP yang mengunjungi desa-desa yang dilanda konflik mengatakan asap rumah-rumah yang dibakar terlihat membumbung ke angkasa. Ia mengatakan kekerasan yang tak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Setidaknya 110 orang tewas, 11 di antaranya pejabat negara bagian, sementara ribuan warga sipil mengungsi ke Bangladesh.

Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mencatat jumlah warga Rohingya yang mengungsi mencapai sedikitnya 18.445 orang.

"Kondisi mereka mengenaskan. Mereka sangat membutuhkan makanan, layanan kesehatan, dan tempat penampungan," kata Sanjukta Sahany, pejabat IOM di Cox's Bazar, di perbatasan Bangladesh-Myanmar.

Ia mengatakan banyak warga Rohingya ini 'yang mengalami luka, baik akibat tembakan senjata api maupun karena luka bakar'.

"Terlihat dengan jelas, orang-orang Rohingya ini trauma," kata Sahany.

PBB mengutuk serangan oleh milisi Rohingya dan juga mendesak militer Myanmar melindungi warga sipil tanpa membedakan etnisitas atau agama.

Nasib 1,1 juta warga Muslim Rohingya di Myanmar menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi. Masyarakat internasional menuduh Suu Kyi 'berdiam diri atas persekusi yang dialami warga Rohingya'.

Di Myanmar, warga Rohingya tidak diakui, tak diberi status warga negara, dan dianggap sebagai imigran gelap, meski mereka mengklaim bahwa akar budaya mereka sudah ada di Myanmar sejak berabad-abad silam.

Kekerasan dalam beberapa hari ini menandai eskalasi dramatis sejak Oktober lalu ketika milisi Rohingya melakukan serangan dengan skala yang lebih kecil.

Ketika itu serangan ini juga dibalas dengan operasi militer, yang dikatakan PBB sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas