Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pelajar Berusia 17 Tahun Pimpin Aksi Duduk di Swedia

Seorang pelajar berusia 17 tahun memimpin ratusan pencari suaka muda Afghanistan melakukan aksi duduk.

zoom-in Pelajar Berusia 17 Tahun Pimpin Aksi Duduk di Swedia
Fatemeh Kharvari memimpin aksi duduk damai menuntut agar pencari suaka asal Afghanistan di Swedia tidak dipulangkan. (Foto: Ric Wasserman) 

TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, Presiden Trump mengumumkan Amerika Serikat akan mengirim lebih banyak tentara ke Afghanistan. Konflik di negara itu jauh dari selesai dan jumlah korban lebih banyak dari sebelumnya.

Di Swedia saja, ada lebih dari 23 ribu orang Afghanistan mencari suaka.

Banyak di antaranya masih di bawah umur. Tapi seiring makin ketatnya kebijakan soal pengungsi di negara itu, banyak pencari suaka terancam dideportasi.

Mereka pun tidak tinggal diam. Seorang pelajar berusia 17 tahun memimpin ratusan pencari suaka muda Afghanistan melakukan aksi duduk. Mereka tidak ingin dipulangkan ke kampung halaman yang masih dilanda konflik itu. 

Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Pada 7 Agustus lalu, hampir 600 pencari suaka muda Afghanistan berkumpul di depan gedung Parlemen di ibu kota Swedia, Stockholm.

Mereka memulai aksi damai dengan duduk di trotoar, menuntut tidak dipulangkan kembali ke negaranya. 

Berita Rekomendasi

Setelah beberapa jam, demonstrasi damai ini diserang Front Nasional, sebuah kelompok neo-nazi. Mereka melontarkan hinaan rasis lalu melempar bom asap. Di bawah pengawalan polisi, pengunjuk rasa dipindahkan ke Medborgarhuset, sebuah tempat pertemuan masyarakat di selatan kota.

Fatemeh Kharvari adalah penggerak aksi dan baru berusia 17 tahun tahun. Dia berpidato di hadapan ratusan pencari suaka dan warga Swedia yang ikut mendukung aks ini.

“Kami akan melanjutkan aksi mogok ini sampai Direktur Jenderal Otoritas Migrasi menemui kami. Dia harus berjanji untuk menghentikan deportasi ke Afghanistan,” tutut Fatemeh.

Dua pekan berlalu dan para pengunjuk rasa masih melakukan aksi mereka.

Sementara itu Direktur Jenderal Otoritas Migrasi Ribbenvik tak kunjung menemui mereka. Dia hanya membalas melalui email dan mengatakan keinginan setiap orang untuk tinggal akan dinilai secara individual.

Fatemeh Kharvari sendiri sudah mendapat suaka di Swedia. 

Tapi di sekelilingnya, masih banyak kaum muda Afghanistan yang mau menempuh perjalanan sangat panjang demi mendapat rasa aman. Sayang di Swedia mereka belum menemukannya. Mereka bisa dikirim kembali ke Afghanistan yang dilanda konflik setiap saat.

Pada Juli lalu, Fatemeh memulai kelompok 'Anak Muda di Swedia' untuk mengkampanyekan hak mereka untuk mencari suaka. Dan kampanye itu meyebar dengan cepat.

“Awalnya kami bertujuh atau delapan orang. Sekarang jumlah kami seribuan orang. Kami tidak bisa membiarkan mereka mengirim kami menuju kematian,” kata Fatemeh.

Dari 23 ribu pencari suaka asal Afghanistan yang tinggal di Swedia, banyak kaum muda yang datang tanpa keluarga. Sebagian besar tiba pada pertengahan 2015. Sejak itu, Swedia  mempertegas sikapnya terhadap pengungsi. Dua tahun berlalu, sekitar 30 persen aplikasi pencari suaka telah ditolak.

Kebanyakan pencari suaka asal Afghanistan, yang mayoritas penduduknya Muslim Sunni, berasal dari etnis Hazara. Mereka adalah Muslim Syiah dan menjadi sasaran serangan Taliban.

Dan seiring makin banyaknya daerah di Afghanistan yang kembali direbut Taliban, mereka lebih rentan dari sebelumnya. 

“Ada risiko mereka jadi sasaran pasukan Taliban atau dieksploitasi secara seksual. Karena rentan, mereka sebenarnya memenuhi persyaratan mendapatkan perlindungan berdasarkan Undang-Undang yang mengatur soal orang asing,” jelas Wakil Direktur Bidang Hukum di Kantor Migrasi Swedia, Carl Bexelius.

Itu artinya, mereka memenuhi syarat menjadi pengungsi menurut hukum Swedia. Penantian yang panjang ini ternyata membawa korban dimana beberapa pemuda Afghanistan ditemukan bunuh diri.

Kembali ke aksi duduk, para pencari suaka membentuk satu barisan. Mereka sedang minum teh dan makan roti lapis.

Iqbal, salah satu peserta aksi berasal dari provinsi Kunduz di Afghanistan Utara. Dia ingin menceritakan kisahnya pada saya. Dia bercerita penderitaannya dimulai saat berusia 13 tahun. Saat itu dia diculik sebuah kelompok militan. Selama dua tahun, dia dipaksa bekerja 12 jam sehari oleh para penculiknya.

“Untuk membantu mereka mengangkut makanan dan air di pegunungan. Selain itu juga ada barang-barang lain seperti narkoba. Mereka ini berperang melawan tentara nasional,” kisah Iqbal.

Dia pernah mencoba melarikan diri, tapi tertangkap. “Mereka memukuli wajah saya dengan Kalashnikov,” tuturnya. Akibatnya rahangnya patah.

Iqbal akhirnya berhasil lolos tapi tidak untuk waktu yang lama. Dia kembali ditangkap kelompok lain. Dia dijual dan dipaksa menjadi budak seks untuk melayani sekelompok pengusaha kaya di Kabul. 

Dia kembali mencoba melarikan diri. Setelah menempuh perjalanan tiga bulan, dia tiba di Swedia. Itu sekitar dua tahun silam. Dia belum tahu apakah akan diijinkan tinggal atau dideportasi. 

Usianya yang menginjak 18 tahun membuat peluang untuk tinggal makin berkurang. Saya bertanya kalau diijinkan tinggal di sini, apa yang akan dia lakukan? “Jika saya diizinkan tinggal di Swedia, saya mau menjadi seorang polisi yang baik. Saya ingin menangkap semua orang jahat yang melakukan hal-hal yang salah.”

Iqbal dan 10 ribu pencari suaka Afghanistan lainnya menunggu keputusan dengan hati berdebar. Sementara itu, aksi duduk mereka masih berlanjut di Stockholm dan bahkan telah menyebar ke dua kota Swedia lainnya, Gothenberg dan Malmo.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas