Tiongkok Bantah Tuduhan Larang Muslim Uighur Simpan Alquran
Namun, hal itu dibantah oleh Pemerintah Tiongkok, yang mengatakan bahwa tuduhan tersebut "tak berdasar".
Penulis: Ruth Vania C
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, XINJIANG - Otoritas Tiongkok, Jumat (29/9/2017), membantah tuduhan soal melarang muslim Uighur untuk menyimpan Alquran.
Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, mengklaim bahwa polisi setempat memerintahkan mereka untuk menyerahkan perlengkapan ibadahnya.
Jika tidak, mereka akan menerima hukuman.
Tuduhan tersebut diungkap oleh juru bicara Kongres Uighur Sedunia, Dilxat Raxit.
Namun, hal itu dibantah oleh Pemerintah Tiongkok, yang mengatakan bahwa tuduhan tersebut "tak berdasar".
"Kami harap pihak-pihak terkait untuk tidak lagi membuat tuduhan dan rumor tak berdasar seperti itu," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Lu Kang.
Menurut Lu, situasi di Xinjiang sedang baik-baik saja dan warga setempat pun beraktivitas secara damai.
Rabu (27/9/2017), beredar kabar soal otoritas Tiongkok memerintahkan agar muslim setempat menyerahkan Alquran, sajadah, dan perlengkapan beribadah lain mereka.
"Kami mendapat peringatan yang mengatakan bahwa tiap warga etnis Uighur harus menyerahkan benda-benda berbau Islam di rumah," tutur Raxit.
"Termasuk Alquran, sajadah, dan apapun yang menjadi simbol keagamaan," lanjutnya.
Menurut Raxit, peringatan itu diperoleh dari kabar yang beredar di aplikasi pesan berbalas WeChat, yang juga didapat oleh warga muslim Kazakhstan dan Kirgizstan.
Baca: Buku Kuliner Bung Karno Bisa Jadi Panduan Wisata Indonesia
Disebutkan bahwa larangan dari kepolisian Tiongkok itu merupakan bagian dari kampanye untuk mencegah segala bentuk publikasi, aktivitas, dan ajaran ilegal berbau ekstremis yang dapat digunakan untuk melakukan aksi teror.
Pemerintah Tiongkok kerap dikritik atas perlakuannya terhadap muslim Uighur di Xinjiang.
Situasi panas antara warga Uighur dan Tiongkok Han sudah ada sejak 2009, yang telah membuat ratusan orang tewas dalam konflik kekerasan antara kelompok separatis dengan pemerintah. (NDTV/Radio Free Asia)