Ada Dua Kategori Pihak yang Terkait Dengan Masa Depan Konflik Israel-Palestina
Dirinya mengajak untuk melihat aktor-aktor lain yang terkait dan berpengaruh terhadap konflik tersebut.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Langkah politik Presiden Amerika Serikat Donald Trump memindahkan Ibu Kota Israel ke Yerusalem melalui lisan, tidak bisa dipungkiri menjadi pencapaian luar bisa bagi Zionis Israel.
Hal itu diungkapkan Dosen Pascasarjana Institute PTIQ Jakarta Dr. Mulawarman Hannase, MA.Hum.
Menurutnya, hal ini juga menjadi janji politik Trump yang harus direalisasikan.
Lantas apakah dengan mudah keputusan tersebut bisa direalisasikan?
"Level institusi dan grassroot, membaca masa depan konflik Israel-Palestina dalam konteks pernyataan Trump tentang pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem tidak bisa berhenti hanya pada pelaku utama atau kedua belah pihak yang berkonflik," kata Mulawarman dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Selasa (26/12/2017).
Dirinya mengajak untuk melihat aktor-aktor lain yang terkait dan berpengaruh terhadap konflik tersebut.
"Pihak-pihak yang terkait dengan masa depan dan resolusi konflik Israel-Palestina dapat dipetakan menjadi dua kategori yaitu level institusi dan grassroots," katanya.
Sementara pada level institusi, pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tidak bisa dilaksanakan begitu saja.
"Karena harus melalui prosedur hokum internasional yang diproses dalam mekanisme pengambilan keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)," katanya.
Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah (PSATT) ini menjelaskan, prosedur pengambilan keputusan di PBB untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tentunya melibatkan banyak negara.
Ketika pengambilan keputusan tersebut dilaksanakan, meskipun Trump mengeluarkan ancaman kepada negara-negara yang menolak kebijakannya, buktinya mayoritas bangsa di dunia menolaknya.
Apalagi dalam forum Majelis Umum PBB Kamis, (21/12/2017) 128 negara menolak keputusan Trump, sembilan mendukung dan 35 abstain dalam voting.
"Masih pada level institusi, Liga Arab, yang beranggotakan negara-negara Arab di Timur Tengah seluruhnya menolak keputusan Trump meskipun banyak mendapatkan bantuan finansial dari Amerika Serikat," katanya.
Lebih dahsyat lagi, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam OKI dalam sidang darurat di Istambul Turki 13 Desember 2017 juga menolak dan mengecam keputusan sepihak Trump soal Yerusalem.
Lebih lanjut Mulawarman menambahkan, pada level grassroots, kebijakan pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalen juga mendapatkan perlawanan people power, baik dalam bentuk demonstrasi turun ke jalan maupun suara netizen di media sosial.
"Bukan hanya di negara-negara Islam, demonstrasi terus terjadi di berbagai penjuru dunia termasuk di beberapa negara Eropa," katanya.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, para pemimpin dunia juga tentunya sangat terpengaruh untuk menolak kebijakan tersebut karena begitu kuatnya tekanan publik di negaranya.
Derasnya protes arus bawah ini merupakan tembok besar bagi Israel dan Trump untuk merealisasikan pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem.
Namun, bukan berarti upaya untuk mencapai tujuan menjadikan Yerusalem sebagai Ibu Kota berhenti begitu saja dengan adanya penolakan dari berbagai pihak. Ini pastinya merupakan jalan terjal bagi Trump dan Netanyahu.
"Tapi, Israel dengan dukungan Trump bisa saja memaksakan diri dengan mengambil langkah militer untuk menduduki Yerusalem, seperti yang sering dilakukannya sejak berdirinya negara Yahudi tersebut," katanya.