Mendikbud Jepang Minta Usut Tuntas Kasus Tokyo Ikka, Termasuk Soal Diskriminasi Wanita
Menteri Pendidikan Kebudayaan Olahraga Sains dan Teknologi, Yoshimasa Hayashi (57) meminta agar kasus Tokyo Ikka Daigaku diusut tuntas.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Menteri Pendidikan Kebudayaan Olahraga Sains dan Teknologi, Yoshimasa Hayashi (57) meminta agar kasus Tokyo Ikka Daigaku (Universitas Medikal Tokyo) diusut tuntas termasuk terakhir soal diskriminasi wanita.
"Kita mau kasus-kasus di perguruan tinggi termasuk Tokyo Ikka diusut lebih lanjut, demikian pula kasus terakhir soal diskriminasi wanita. Dan kita juga mau meningkatkan tes kemampuan pendidikan nasonal untuk yang masuk pendidikan tinggi di Jepang," kata Hayashi, Jumat (3/8/2018).
Kasusnya berawal ketiga Komisaris Utama (Chairman) dan Rektor Tokyo Ikka, Masahiko Usui (77) dan Mamoru Suzuki (69) kedapatan kongkalikong dengan seorang Direktur Kementerian Pendidikan Jepang Futoshi Sano (59).
Anak dari Sano lewat jalur belakang diterima di Tokyo Ikka dan sebagai gantinya, Tokyo Ikka mendapat subsidi bantuan bidang riset dari Kementerian Pendidikan Jepang.
Akhirnya kedua pimpinan Tokyo Ikka mengundurkan diri bulan Juli 2018.
Pengusutan kasus itu lebih lanjut terungkap kasus lain.
Setelah tahun 2010 jumlah calon mahasiswa wanita lebih banyak diterima daripada pria, maka dilakukan cara curang dan diskriminasi oleh Tokyo Ikka.
Baca: Partai Berkarya Usung Nama Capres yang Benar-benar Diinginkan oleh Rakyat
Hasil tes masuk universitas dengan mengurangi 30 poin hanya kepada calon mahasiswa wanita.
Akibatnya selama hampir 8 tahun jumlah mahasiswa wanita yang berhasil masuk ke Tokyo Ikka menjadi jauh berkurang ketimbang pria menjadi sekitar 1:5 (lima pria, satu wanita).
Fakultas kedokteran percaya bahwa dokter wanita sering mengundurkan diri atau mengambil cuti panjang setelah menikah atau melahirkan, menyebabkan kekurangan dokter.
"Universitas memotong 10 hingga 20 persen dari poin yang dicetak oleh pelamar wanita," kata sumber tersebut.
Seorang juru bicara Universitas Tokyo Ikka mengatakan Kamis (2/8/2018) bahwa sekolah akan melakukan penyelidikan serius atas masalah ini.
Bias ujian masuk terungkap saat pemeriksaan internal oleh pengacara universitas menyusul skandal penyuapan.
Seorang pejabat Kementerian Pendidikan Jepang yang bertanggung jawab atas ujian masuk mengatakan pemerintah telah meminta lembaga pendidikan tinggi untuk merinci bagaimana mereka untuk masuk ke Tokyo Ikka.
"Jika universitas tidak mengungkapkan proses transparan dan telah melakukan diskriminasi terhadap pelamar berdasarkan jenis kelamin, itu akan menjadi masalah," ungkap sumber Tribunnews.com, Jumat (3/8/2018).
Proses masuk Tokyo Ikka terdiri dari dua tahap.
Baca: Baihaqi Meregang Nyawa di Tangan Sang Adik Gara-gara Pukul Ayahnya
Pertama melihat pelamar mengambil ujian pilihan ganda dan mereka yang maju menjalani penilaian lebih lanjut dengan menulis esai dan menghadiri wawancara.
Universitas memotong poin pelamar perempuan setelah tahap pertama untuk mengurangi jumlah yang akan maju ke fase berikutnya.
Hal itu tidak dijelaskan kepada para pelamar calon mahasiswa baru.
Dari 1.596 pria dan 1.018 wanita yang mendaftar ke universitas pada tahun akademik 2018 mulai bulan April 2018, sebanyak 19 persen dari pelamar laki-laki, atau 303, lulus tahap pertama, dibandingkan dengan 14,5 persen pelamar perempuan.
Sebanyak 141 pria dan 30 wanita melewati tahap kedua, membawa keseluruhan angka kelulusan menurut gender menjadi 8,8 persen (pria) dan 2,9 persen (wanita).
Sekelompok dokter wanita yang sebelumnya mengemukakan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan adanya praktik diskriminatif, mengatakan mereka senang masalah ini akhirnya terungkap.
Kyoko Tanebe, seorang anggota dewan eksekutif di Asosiasi Profesional medis Wanita Jepang mengatakan universitas kedokteran lainnya diyakini telah terlibat dalam praktik serupa.
"Ini adalah masalah serius," kata Tanebe, seorang dokter kandungan di Perfektur Toyama.
Tanebe berbicara tentang praktik yang dicurigai beberapa kali di pertemuan komite pemerintah dan pertemuan para praktisi medis, tetapi banyak yang tidak menunjukkan minat yang besar mengenai hal itu.
"Baru kali ini akhirnya mengemuka jadi kasus besar di masyarakat," kata dia.
Ruriko Tsushima, anggota dewan eksekutif lain pada asosiasi itu, mengecam hal itu sebagai tindakan diskriminasi tak termaafkan terhadap wanita.
"Saya tidak dapat memaafkan (apa yang dikatakan oleh universitas itu) kepada berbagai orang yang belajar keras untuk masuk ke universitas, berharap menjadi dokter," kata kepala klinik wanita di Tokyo.
"Seharusnya tidak terjadi di negara demokratis yang seharusnya memberikan peluang pendidikan yang sama," ujarnya.
Meskipun persamaan dalam kedokteran telah membaik seiring waktu, beberapa institusi masih tidak membiarkan dokter wanita memasuki ruang operasi.
"Secara umum, diskriminasi tidak adil terhadap pelamar perempuan dalam ujian masuk. Hal ini tidak dapat diterima sama sekali," kata Menteri Pendidikan Yoshimasa Hayashi.
Kementerian Pendidikan meminta universitas pada 25 Juli untuk melaporkan proses seleksi pemohon dan apakah itu telah dilaluinya dengan benar.
Kementerian bermaksud untuk meminta universitas untuk menjelaskan perlakuannya terhadap pelamar perempuan ketika mengeluarkan laporannya.
"Kami akan menunggu laporan dari universitas dan mempertimbangkan bagaimana menanggapi," kata Menteri Hayashi.