Muak Selalu Dibohongi Janji-janji Palsu, Warga Desa di Bosnia Usir Para Politisi
Pemilihan umum kali ini akan menentukan para pejabat yang menduduki posisi terpenting di Bosnia-Herzegovina.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SARAJEVO - Kontestasi politik menjelang pemilu yang diwarnai kebohongan ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia.
Di banyak negara, masa-masa menjelang pemilu memang digunakan para politisi untuk mengumbar janji yang seringkali tak terpenuhi saat mereka memenangkan pemilihan umum.
Hal serupa terjadi di Bosnia yang akan menggelar pemilihan umum pada Minggu (7/10/2018), yang membuat sebagian warga negeri itu muak.
Bahkan warga sebuah desa kecil dan miskin bernama Podgora sudah benar-benar muak terhadap janji politisi.
Alhasil, mereka melarang para politisi menggelar kampanye di desa tersebut. "Kalian sudah bertahun-tahun membohongi kami. Tak ada partai politik boleh masuk ke Podgora!"
Baca: Jadi Simbol Kerukunan Beragama, Ini 5 Fakta Bukit Kasih di Minahasa
Pernyataan keras itu tertulis di sebuah spandung yang dibentangkan di alun-alun desa berpenduduk 700 orang yang hanya berjarak 30 kilometer dari ibu kota Sarajevo.
Pemilihan umum kali ini akan menentukan para pejabat yang menduduki posisi terpenting di Bosnia-Herzegovina.
Pejabat yang akan dipilih mulai dari lembaga kepresidenan berisi tiga orang hingga ke jabatan-jabatan lokal. Namun, hanya sedikit warga negeri itu yakin akan terjadi perubahan signifikan di negara yang pada dasarnya masih lumpuh itu.
Kondisi tersebut sebagian disebabkan konflik yang tak terselesaikan sisa-sisa perseteruan etnis yang berpuncak pada Perang Bosnia pada 1990-an.
Perang itu menewaskan 100.000 orang dan memecah negeri itu menjadi dua daerah otonomi besar yang "dijaga" pemerintah pusat yang lemah.
Seperti sebagian besar warga Bosnia, rakyat desa Podgora juga sudah bosan dengan para politisi yang dikenal korup dan tak pernah menjalankan fungsinya.
"Cukup sudah semua kebohongan ini!" kata Adi Siladzic (47), saat ditanya alasannya mendukung penolakan terhadap para politisi.
"Kami sudah muak setiap kali mereka datang dengan segudang cerita hanya demi mendapatkan suara kami," tambah Siladzic.
"Dan, setiap kali, sehari setelah pemungutan suara, mereka sudah seperti tak pernah mengenal kami lagi," tambah pria pengangguran ini.