Remaja Palestina Tewas Ditembak Pasukan Israel Selama Protes di Ramallah
Seorang remaja Palestina tewas ditembak pasukan Israel pada Jumat kemarin, saat berlangsungnya protes di Ramallah.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, TEPI BARAT - Seorang remaja Palestina tewas ditembak pasukan Israel pada Jumat kemarin, saat berlangsungnya protes di Ramallah, wilayah yang diduduki negara zionis itu di Tepi Barat.
Kementerian Kesehatan Palestina telah mengidentifikasi remaja tersebut sebagai Mahmoud Nakhleh.
Pemuda berusia 18 tahun itu ditembak pada bagian perut menggunakan peluru tajam saat melakukan protes terhadap tentara Israel, tepatnya di kamp pengungsi al-Jalazun.
Menurut kantor berita lokal Palestina, Maan, jarak penembakan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap pemuda itu hanya kurang dari 10 meter.
Para prajurit tersebut mencoba menyandera tubuh Nakhleh, namun paramedis Palestina akhirnya bisa membawanya setelah mengalami kebuntuan selama lebih dari 30 menit.
Baca: Pekan Depan Iran, Rusia dan Turki akan Bertemu Utusan PBB di Suriah
Setelah Nakhleh dibawa ke rumah sakit, ia terlambat diselamatkan dan akhirnya dinyatakan meninggal.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Sabtu (15/12/2018), seorang penduduk kamp Jalazun, Fadwa Safi mengatakan kepada Al Jazeera bahwa saat prajurit Israel menyeret tubuh Nakhleh, pasukan zionis itu juga memukulinya.
Selama peristiwa penembakan tersebut terjadi, pria berusia 42 tahun itu sedang berada di kediamannya.
Namun Safi akhirnya mengetahui insiden tersebut saat mendengar teriakan adiknya yang mengatakan bahwa seorang anak laki-laki terluka akibat tembakan tentara Israel, bahkan tubuhnya juga diseret.
"Saya melangkah ke luar rumah, kemudian saya melihat mereka membawa dan memukulinya saat ia terluka," kata Safi.
"Empat tentara menyeretnya dan ada sekitar tujuh tentara tambahan yang berjalan bersama mereka," kata dia.
"Saya mengejar mereka, lalu mereka mengancam saya dan memerintahkan saya untuk pulang, namun 'saya mengatakan saya tidak akan pergi', saya ingin anak itu karena dia masih hidup, masih bernapas dan bergerak, lalu mereka melemparkan anak itu ke tanah".
Safi mengatakan bahwa ambulans sudah tiba, namun pada awalnya para prajurit tidak membiarkan bantuan medis itu masuk ke kamp tersebut.
"Satu tentara mengarahkan senjatanya kepada saya, saya bilang 'tembak saya, tapi saya mau bocah itu".
"Saya berharap bisa menyelamatkannya tapi ternyata saya tidak bisa, tapi saya senang saat saya bisa membawanya karena saya pikir dia bisa diselamatkan, saya tidak tahu kalau dia sedang sekarat," jelas Safi sambil menangis.