Kehilangan Dukungan Uni Eropa, Donald Trump: Saya Tidak Peduli
Donald Trump mengaku sangat menyadari bahwa para pemimpin Eropa kurang mempercayai dirinya
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Selama dua tahun menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump telah memanen banyak perselisihan lintas negara, bahkan lintas sektor.
Kali ini, Donald Trump berselisih dengan sekutu trans-Atlantiknya terkait imigrasi, pengeluaran anggaran pertahanan, hambatan perdagangan, lingkungan, pipa gas Rusia serta kesepakatan nuklir Iran.
Dikutip dari laman Sputnik News, Jumat (4/1/2019), Donald Trump mengaku sangat menyadari bahwa para pemimpin Eropa kurang mempercayainya, Namun Donald Trump masih meyakini jika kelak ia bisa menjadi 'orang paling populer di Eropa'.
Ia memang telah mempertahankan pendekatan ala dirinya dalam menjalin hubungan dengan Eropa. Selain itu ia juga mengatakan bahwa membuat orang Eropa membayar lebih untuk sektor pertahanan adalah tugasnya.
Namun menurut para pengkritiknya di AS, Trump telah merusak popularitasnya di seluruh Atlantik. "Saat mereka mengatakan saya tidak populer di Eropa, saya seharusnya memang tidak populer di sana," kata Trump kepada wartawan pada Rabu lalu.
"Jika saya populer di Eropa, saya tidak akan melakukan pekerjaan saya ini,".
Baca: Minta Pasukannya Angkat Kaki, Donald Trump Bilang Amerika Serikat Tidak Menginginkan Suriah Lagi
Ia juga mengklaim bahwa anggota Uni Eropa telah mengambil keuntungan dari AS terkait sektor perdagangan dan pertahanan.
Donald Trump telah meminta mereka untuk meningkatkan pengeluaran anggaran untuk sektor militer, termasuk dalam kerangka kerja NATO. "Jerman membayar 1 persen, mereka seharusnya membayar 4 persen, tapi mereka hanya membayar 1 persen, mereka harus membayar lebih dari itu," tegas Trump, mengacu pada pengeluaran anggaran pertahanan Jerman yang diperkirakan 1,2 persen dari PDB tahun lalu.
"Negara-negara lain membayar sebagian kecil dari apa yang seharusnya mereka bayar, jadi ketika saya mengatakan 'saya minta maaf, saudara-saudara, anda harus membayar', saya memang seharusnya tidak populer di Eropa,".
Sementara itu rekan sesama anggota Partai Republik sekaligus Kritikus Mitt Romney mengatakan dalam sebuah artikel bahwa tindakan Trump dan agenda proteksionisnya telah menyebabkan popularitasnya merosot di Eropa.
Romney kemudian menunjukkan adanya penurunan popularitas yang drastis dari citra Trump diantara sekutu kuncinya seperti Jerman, Inggris, Prancis, Kanada dan Swedia.
Di sisi lain Trump menegaskan, agenda proteksionisnya akan disambut di Eropa, "saya bisa menjadi orang paling populer di Eropa, saya bisa mencalonkan diri untuk jabatan apapun jika saya mau, tapi saya tidak mau, saya ingin orang memperlakukan kami dengan adil,".
Beberapa Kritikus meyakini bahwa popularitas Trump di luar negeri seharusnya tidak menjadi bahan pembicaraan. Sedangkan yang lainnya berpendapat, peluang suami dari Melania Trump itu untuk memenangkan hati di kalangan orang Eropa masih sangat rendah.
Administrasi Trump pun mempererat hubungannya dengan sekutu-sekutu AS di Eropa, setelah diberlakukannya tarif impor alumunium dan baja pada 1 Juni 2018 lalu.
Pemberlakuan itu merupakan sebuah langkah yang mendapatkan banyak kritikan dari para pemimpin Prancis, Jerman dan Inggris. Dalam hubungannya dengan Jerman, Trump juga menyerang negara itu lantaran membangun Nord Stream 2, yakni saluran pipa yang membentang dari Rusia ke Jerman yang melintasi Laut Baltik.
Ia bahkan mengancam akan memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan Eropa yang berinvestasi dalam proyek tersebut. 'Percikan' lainnya yang ia munculkan adalah penarikan diri negaranya dari perjanjian nuklir Iran yang telah diumumkan Trump pada Mei lalu.
Para penandatangan yang tersisa dalam perjanjian tersebut, termasuk Jerman, Prancis dan Inggris mengutuk tindakan Trump dan bersumpah untuk selalu menjunjung tinggi komitmen mereka terhadap kesepakatan itu.