Teroris Penembakan Brutal di Masjid Selandia Baru Diadili, Ngaku Tak Menyesal Tembak Mati 50 Jamaah
Alam merupakan salah satu korban selamat dalam penembakan yang menewaskan total 50 jemaah itu. Saat kejadian, dia berada di Masjid Linwood.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SELANDIA BARU - Brenton Tarrant (28 tahun), teroris penembakan masjid di Selandia Baru menjalani persidangan kedua, Jumat (5/4/2019).
Teroris berkebangsaan Australia itu menewaskan 50 orang dan 39 jemaah lainnya, pada 15 Maret silam. Keluarga korban marah dan mengatainya sebagai orang gila.
"Dia gila. Saya sangat marah karena wajahnya tak menunjukkan penyesalan setelah membunuh 50 orang. Tidak tampak emosi di mukanya," ujar Tofazzal Alam pengunjung gedung Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat waktu setempat, kemarin.
Saat di persidangan, Alam duduk di dalam ruang sidang. Dia ingin melihat Brenton Tarrant, teroris yang menembak jemaah di Masjid Al Noor dan Linwood ketika tengah berlangsung Shalat Jumat (15/3).
Alam merupakan salah satu korban selamat dalam penembakan yang menewaskan total 50 jemaah itu. Saat kejadian, dia berada di Masjid Linwood.
Baca: Brenton Tarrant, Teroris Penembak Masjid di Selandia Baru Hadapi 50 Dakwaan Pembunuhan
Dilansir AFP, dia lolos dari maut dengan berpura-pura mati sehingga tidak bisa melihat wajah si teroris. Jadi, sidang Jumat ini dia gunakan untuk melihat Tarrant.
"Saya ingin melihat wajahnya karena dia adalah orang yang sudah membunuh banyak teman saya," ujar Alam sembari menambahkan, melihat si teroris membuatnya marah.
Namun persidangan pembacaan dakwaan hanya menghadirkan terdakwa melalui telekonferensi video. Dia tidak hadir secara fisik ke muka persidangan.
Pernyataan serupa disampaikan Yama Nabi, putra Daoud Nabi, satu dari 50 korban tewas di Masjid Al Noor.
"Saya hanya ingin melihat muka teroris itu. Memang, orang yang kami sayangi tidak akan kembali. Saya berpikir dia pengecut," ujar Yama.
Warga yang hadir di pengadilan Christchurch tidak akan bisa melihat Tarrant secara langsung karena sidang itu digelar melalui panggilan video.
Baca: Brenton Tarrant, Pelaku Teror Penembakan di Selandia Baru Dijatuhi Dakwaan Baru
Teroris asal Grafton, Australia, itu hadir dari penjara dengan keamanana maksimum di Auckland, berlokasi sekitar 1.000 km di utara Christchurch.
Tetapi, Tarrant tidak akan bisa melihat wajah keluarga korbannya karena video sudah diatur menghadap hakim dan kuasa hukumnya. Sidang Jumat ini merupakan sidang kedua yang dijalani si teroris setelah 16 Maret, sehari pasca-perbuatan kejamnya di Christchurch.
Sebelum persidangan, Hakim Camerin Mander memerintahkan agar Tarrant menjalani tes kejiwaan untuk menentukan apakah dia gila atau tidak. Dia tidak diperbolehkan mengajukan pembelaan, dan bakal berada dalam penahanan hingga persidangan selanjutnya dijadwalkan pada 14 Juni mendatang.
Brenton Tarrant yang mengklaim sebagai ekstremis kulit putih menyerang Masjid Al Noor dan Linwood ketika jemaah melaksanakan salat Jumat (15/3).
Ketika hadir dalam sidang perdana sehari pasca-pembunuhan (16/3), Tarrant hanya dijerat satu dakwaan pembunuhan sebagai tindakan penahanan. Polisi menyatakan teroris berkebangsaan Australia itu bakal mendapat tambahan dakwaan.
"Teroris itu bakal dijerat 50 dakwaan pembunuhan dan 39 dakwaan upaya pembunuhan saat dia hadir di sidang Jumat (5/4)," kata polisi seperti dikutip AFP.
Penegak hukum melanjutkan, tambahan dakwaan kepada teroris itu tengah dipertimbangkan. Namun, polisi masih enggan membeberkannya. Bisa saja nantinya pengadilan bakal menambahkan undang-undang terorisme kepada Tarrant yang bakal hadir via konferensi video dari penjaranya.
Sebuah catatan dari Pengadilan Tinggi Christchurch menyatakan pengadilan itu bakal berjalan singkat, dan hanya menjelaskan hak hukum si teroris. Tarrant telah memecat pengacara yang disediakan pengadilan selepas sidang perdana, dan bakal menggunakan kesempatan untuk melancarkan propagandanya.
Pengadilan mengatakan agenda sidang pada Jumat besok belum akan mendengarkan materi pembelaan teroris berusia 28 tahun tersebut. Selain itu, upaya propagandanya bakal sulit karena kini pengadilan melarang media untuk merekam atau memotret wajah si teroris.
Donasi Ekstremis
Tarrant disebut beberapa kali memberi sumbangan untuk aktivis sayap kanan di Eropa yang dikenal anti-imigrasi. Diberitakan surat kabar harian Austria, Der Standard, Kamis (4/4), pelaku yang akan menghadapi dakwaan pembunuhan 50 orang dan percobaan pembunuhan (melukai) 39 lainnya, telah memberikan donasi pada 2017 dan 2018.
Informasi tersebut disampaikan sumber keamanan dari Jerman dan Austria yang mengetahui perkembangan proses penyelidikan terhadap Brenton Tarrant. Dilansir AFP, teroris asal Australia itu disebut telah membuat empat kali sumbangan dengan total donasi mencapai 2.200 euro atau sekitar Rp 34 juta.
Sumber yang dikutip surat kabar menyebutkan bahwa uang itu dikirimkan ke kelompok Generation Identitaire di Perancis. Kendati demikian, intelijen domestik Austria masih menyelidiki apakah jumlah tersebut dikirimkan kepada kelompok itu di satu negara, atau juga ke cabang di negara lain.
Sementara pada 2018, Tarrant disebut juga menyumbang senilai 1.500 euro (sekitar Rp 23 juta) untuk Martin Sellner, pemimpin Gerakan Identiter Austria (IBOe).
Pekan lalu, petugas menggerebek apartemen milik Sellner usai mengetahui informasi sumbangan itu dan telah diakuinya. Namun dia membantah telah berhubungan dengan pelaku.
Pemerintah Austria kini tengah menyelidiki apakah IBOe merupakan organisasi teroris dan mengancam dapat membubarkannya.
Tindakan serupa juga dilakukan pemerintah Perancis yang mengancam akan membubarkan kelompok Generation Identitaire di negara itu apabila terbukti melakukan aksi anti-imigrasi.
Tarrant, yang diketahui kerap melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama Eropa, disebut memperoleh uang melalui transaksi mata uang kripto dan dapat mengumpulkan hingga 200.000 dollar Australia (sekitar Rp 201 juta).
Sebelumnya diberitakan, pelaku teror Selandia Baru diancam dakwaan 50 pembunuhan dan 39 dakwaan percobaan pembunuhan.
(kompas.com)