Perilaku Seks Menyimpang, Pasangan Ditampar dan Diludahi Saat Berhubungan Intim
Kekerasan saat berhubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka meningkat di Inggris hingga dianggap sesuatu yang normal, menurut para pegiat
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM - Kekerasan saat berhubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka meningkat di Inggris hingga dianggap sesuatu yang normal, menurut para pegiat.
Riset ini dilakukan seiring kasus yang terjadi pada wisatawan Inggris Grace Millane yang meninggal dan tersangka membela diri dengan alasan "seks kasar" yang dilakukan atas dasar suka sama suka.
Baca: Mayat Gadis Ditemukan di Samping Stadion, Diduga Overdosis Narkoba dan Kelelahan Berhubungan Seks
Baca: Pegawai dan Guru Honorer Intim di Depan Siswi SMK, Kemudian Mengajak Berhubungan Seks Menyimpang
Intimidatif
Salah seorang yang mengalami adalah Anna, 23 tahun. Ia menyatakan mengalami kekerasan saat berhubungan badan suka sama suka dengan tiga pria berbeda dalam kesempatan terpisah.
Awalnya, rambutnya ditarik dan ia ditampar. Kemudian si pria melingkarkan tangan di leher Anna.
"Saya kaget," katanya. "Sangat tak nyaman dan intimidatif. Jika orang menampar atau mencekikmu di jalanan, ini termasuk serangan fisik".
Ketika Anna bicara kepada teman perempuannya, ia sadar bahwa hal seperti ini umum terjadi.
Dalam kesempatan lain, Anna mengatakan bahwa ia sempat dicekik saat berhubungan seks - tanpa peringatan ataupun persetujuannya.
Anna yang lulus kuliah tahun ini mengatakan ia juga pernah punya pasangan yang sering memaksa sehingga badannya memar-memar dan sakit berhari-hari.
"Saya tahu ada perempuan yang bilang suka hal seperti itu. Masalahnya adalah ketika si pria beranggapan semua perempuan suka diperlakukan demikian".
Tekanan terhadap perempuan
Perusahaan riset Savanta ComRes bertanya kepada 2.002 perempuan di Inggris berumur antara 18 dan 39 jika mereka pernah mengalami tamparan, cekikan, bekapan atau diludahi ketika berhubungan seks suka sama suka.
Lebih dari sepertiga (38%) perempuan mengalami kekerasan seperti itu dan mereka menyatakan tak selalu menginginkannya.
Sementara 31% menyatakan pernah mengalami kekerasan dan mengatakan pengalaman itu tak pernah mereka tolak (31%).
Kemudian 31% lainnya tak pernah mengalaminya atau memilih tak menjawab pertanyaan.
Centre for Women's Justice mengatakan kepada BBC bahwa angka itu memperlihatkan "tekanan besar kepada perempuan untuk menyetujui kekerasan yang berbahaya dan merendahkan".
Menurut mereka: "Ini disebabkan karena meluasnya dan normalisasi penggunaan pornografi ekstrem."
Adina Claire, Direktur Women's Aid mengatakan: "Setuju berhubungan seks dengan seseorang tidak mengurangi risiko untuk mengalami tamparan atau cekikan."
'Kekerasan dinormalkan'
Steven Pope adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan.
Kepada BBC ia mengatakan berurusan setiap hari dengan dampak negatif meningkatnya kekerasan seperti itu.
"Ini merupakan epidemi tersembunyi. Orang melakukannya karena mereka pikir itu normal, tapi sesungguhnya itu sangat merugikan. Bagi banyak orang, kekerasan itu menurunkan nilai hubungan, tapi juga membuat kekerasan dalam seks jadi ditolerir."
Steven khawatir mereka yang terlibat hubungan seperti ini tak sadar akan risikonya.
"Ada yang datang ke saya ketika cekikan saat berhubungan seks sudah berlebihan, dan mereka sempat berada dalam keadaan tak sadar. Mereka umumnya tak memikirkan itu ketika melakukannya".
Permainan seks yang berubah menjadi kecelakaan
Pegiat Fiona McKenzie mengomentari hasil ini sebagai "mengerikan".
"Saya secara rutin mendengar perempuan yang dicekik, ditampar, diludahi, dikata-katai atau bahkan ditonjok oleh pria yang berhubungan seks dengan mereka secara suka sama suka. Dalam banyak kasus, awalnya para perempuan tidak melihat betapa pengalaman ini sesungguhnya traumatis."
Ia kemudian mendirikan lembaga We Can't Consent to This, (Kami tak dapat menyetujui ini), sesudah melihat adanya peningkatan jumlah kasus di mana perempuan terbunuh akibat 'permainan seks yang berubah jadi kecelakaan'.
Di kasus seperti ini, persetujuan perempuan yang menjadi korban dipakai sebagai alat pembela diri oleh para pelaku.
Anna mengatakan seks sudah menjadi "sangat berpusat pada pria... Seks mengalami 'pornoisasi' (makin menyerupai adegan film porno)."
Ia menambahkan kekerasan dalam seks jadi normal.