Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Indonesia Dikategorikan Negara Maju, Menko Perekonomian: Dampaknya Tentu Saja Fasilitas

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto buka suara soal Indonesia dikeluarkan dari daftar negara berkembang.

Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Miftah
zoom-in Soal Indonesia Dikategorikan Negara Maju, Menko Perekonomian: Dampaknya Tentu Saja Fasilitas
pixabay
ILUSTRASI China Rupanya Pernah Menolak Dicoret dari Daftar Negara Berkembang, Apa Alasannya? 

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara soal Indonesia dikeluarkan dari daftar negara berkembang.

Untuk diketahui, Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (AS) atau Office of the US Trade Representative (USTR) mencabut preferensi khusus untuk Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Dikutip dari Kontan, bagi Amerika Serikat, Indonesia sudah menjadi negara maju.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama sejumlah kementerian terkait menyerahkan draft resmi RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke Pimpinan DPR RI, Rabu (12/2/2020).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama sejumlah kementerian terkait menyerahkan draft resmi RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke Pimpinan DPR RI, Rabu (12/2/2020). (Tribunnews.com/ Chaerul Umam)

Airlangga Hartarto menyebut, hal tersebut akan berdampak pada fasilitas-fasilitas negara berkembang.

"Dampaknya tentu fasilitas, Indonesa yang sebelumnya menjadi negara berkembang akan dikurangi," kata Airlangga.

"Ya kita tidak khawatir itu," terangnya.

Dalam kebijakan baru yang berlaku sejak Senin (10/2/2020) lalu, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countries.

Berita Rekomendasi

Sehingga, Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak berlaku bagi Indonesia.

Baca: Donald Trump Cabut Indonesia dari Daftar Negara Berkembang untuk Penyelidikan, Disebut Unilateralis

Perdagangan Indonesia Buntung

Lebih jauh, akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan menjadi kurang dari 1 persen.

Kriteria negligible import volumes yang disediakan bagi negara berkembang tidak berlaku bagi Indonesia.

Kebijakan tersebut membuat perdagangan Indonesia buntung.

Untuk diketahui, selama ini Indonesia surplus dari Amerika Serikat.

Baca: China Rupanya Pernah Menolak Dicoret dari Daftar Negara Berkembang, Apa Alasannya?

Waketum Bidang HI Buka Suara

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani buka suara.

Ia menilai, secara signifikan keputusan Amerika Serikat mempengaruhi ekspor Indonesia.

"Pertama, manfaat fasilitas sistem tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP) AS untuk produk ekspor asal Indpnesia akan hilang seluruhnya," kata Shinta kepada Kontan.

"Karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas ini hanya diberikan kepada negara yang mereka anggap sebagai LDCs dan negara berkembang," tambahnya.

ILUSTRASI. Aktivitas bongkar muat di Terminal Petikemas Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (3/1). Amerika Serikat (AS) resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang atawa Developing and Least-Developed Countries (LGDCs) sejak 10 Februari 2020.
ILUSTRASI. Aktivitas bongkar muat di Terminal Petikemas Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (3/1). Amerika Serikat (AS) resmi mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang atawa Developing and Least-Developed Countries (LGDCs) sejak 10 Februari 2020. (Kontan/Baihaki)

Shinta menambahkan kerugian pangsa pasar AS bisa menjadi sangat signifikan dan tiba-tiba.

Hal itu karena penyelidikan ini bisa dimulai kapan saja.

Seusai dimulai, pangsa pasar ekspor dan kinerja ekspor Indonesia serta-merta turun drastis.

"Kalau ini terjadi pada banyak komoditas yang dijual ke AS," tuturnya.

"Kinerja ekspor RI-Amerika bisa turun dengan signifikan dan kemungkinan besar tidak bisa naik lagi," tegasnya.

Dalam pengamatan Shinta, karakter AS dalam mengenakan tarif anti dumping dan anti subsidi sangat tinggi, bisa mencapai 300 persen di atas tarif MFN.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani) (Kontan.id/Yusuf Imam Santoso/ Arfyana Citra Rahayu)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas