China Batalkan Uji Klinis Obat Virus Corona karena Kurang Kandidat yang Cocok
China dikabarkan membatalkan uji klinis untuk wabah virus corona karena kurangnya kandidat yang cocok.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Upaya China untuk menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan Covid-19 kini terhambat.
Pasalnya, China dikabarkan membatalkan uji klinis obat untuk wabah virus corona.
Mengutip dari South China Morning Post, pakar penyakit pernapasan terkemuka di China mengatatakan, kini Covid-19 di negara tersebut secara bertahap dapat dikendalikan.
Berdasarkan catatan publik, sekira 45 pengajuan ditarik atau dihentikan sebelum tenggat waktu pendaftaran yang dijadwalkan hingg pertengahan April 2020.
Media China Science Daily melaporkan, Kepala tim penasihat terkait krisis kesehatan, Zhong Nanshan angkat bicara.
Baca: Peneliti Inggris Perkirakan Wabah Virus Corona Ada di China Sejak September 2019
Baca: Update Corona Dunia 17 April 2020 Pukul 14.00 WIB: China Tambah 1.290 Kematian
Zhong menyebut, alasan yang paling umum yakni kurangnya kandidat atau subjek untuk uji klinis tersebut.
"Banyak penelitian dibatalkan karena tidak ada yang percaya China akan mengendalikan wabah virus corona begitu cepat," katanya.
"Sekarang, tidak ada peluang untuk penelitian obat atau pengobatan klinis dengan skala besar di China," tambahnya.
Zhong: Gelombang Pertama Virus Corona Telah Berlalu
Lebih jauh, Zhong menyebut, gelombang pertama penyebaran virus corona di China telah berlalu.
Selain itu, dia mengatakan, upaya untuk menahan gelombang kedua telah berjalan dengan baik.
Sebagaimana diketahui, China padaKamis (16/4/2020) melaporkan 26 infeksi, 15 di antaranya merupakan kasus impor.
Sejak wabah itu dicatat untuk pertama kalinya pada Desember 2019, China telah melaporkan 82.692 kasus.
Baca: Sisi Positif dan Negatif Pandemi Virus Corona Bagi Bek Bhayangkara FC
Baca: Total 57 Tenaga Medis di RSUP Dr Kariadi Semarang Terkena Virus Corona, Dirut Ungkap Faktor Penyebab
Studi Uji Klinis Terhadap Dua Obat
Lebih jauh, dua obat dari uji klinis yang melibatkan obat antivirus remdesivir, diidentifikasi memiliki potensi untuk melawan virus corona.
Para peneliti di Wuhan telah memulai uji coba obat yang diproduksi oleh perusahaan AS, Gilead.
Awalnya, remdesivir dikenal sebagai pengobatan untuk Ebola.
Uji klinis dilakukan oleh dua kelompok orang, satu dengan gejala ringan hingga sedang.
Kandidat lainnya dengan infeksi virus corona yang lebih serius.
Kedua studi tersebut dimulai pada Februari 2020 kemarin dan dijadwalkan selesai pada 27 April 2020 mendatang.
Tetapi, sesuai dengan status mereka di ClinicalTrial.gov China, pada Rabu (15/4/2020), percobaan dengan gejala sedang telah ditangguhkan.
Sementara itu, percobaan dengan gejala parah telah dibatalkan.
Disebutkan sebelumnya, alasan yang diberikan pihak berwenang yakni, Covid-19 telah terkendali dan sekarang kekurangan subjek atau kandidat uji klinis yang sesuai.
Penelitian yang Melibatkan Pasien dengan Gejala Berat Dihentikan
Lebih jauh, Gilead mengatakan, ia telah diberitahu sebelumnya terkait penelitian ini.
Ia menegaskan, penelitian yang melibatkan pasien dengan gejala berat telah dihentikan karena kekurangan kandidat.
Tetapi, Gilead menerangkan masih ada lima uji klinis lainnya yang sedang berlangsung di AS dan Eropa.
Pada Februari lalu, 12 ahli medis menerbitkan surat terbuka di Chinese Journal of Epidemiologi.
Mereka mengatakan, uji klinis harus dilakukan secara tertib.
Hal ini karena jumlah tes yang tinggi menyebabkan kekurangan sukaralawan yang cocok.
Tak hanya itu saja, kelangkaan kandidat akan menyebabkan ukuran sampel tidak memadai.
Mereka menambahkan, kurangnya data berkualitas tinggi tentang kemanjuran serta keamaan uji klinis.
580 Uji Klinis Terdaftar di China
Lebih jauh, sejak wabah virus corona merebak, sekira 580 uji klinis terkait, telah terdaftar di China.
Zhong menerangkan, terlepas dari pembatan uji klinis yang diberitakan, jumlah yang didaftarkan menjukkan tekad negara tersebut untuk mencari kemungkinan perawatan dan pengobatan untuk Covid-19.
"Jangan abaikan, hampir 600 uji klinis tersebut," kata Zhong.
"Ada baiknya (bagi para ilmuwan) untuk merangkum pengalaman mereka dan menerbitkan makalah," paparnya,
"Terutama ketika kita tidak tahu obat apa yang mungkin efektif," tambahnya.
Tingkat antusiasme yang tinggi terhadap penelitian saat ini sangat kontras dengan situasi 18 tahun lalu, kata Zhong.
Sebagaimana diketahui, pada 2002 lalu, China menghadapi epidemi SARS.
Pada saat itu, ungkap Zhong, orang-orang fokus mencari pengobatan, bukan menulis tentang pengalaman mereka.
Zhong sendiri hanya menerbitkan tiga makalan terkait SARS.
*WHO belum merekomendasikan obat apa pun untuk corona, hingga saat ini penelitian masih terus dilakukan.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)