Warga Aceh Dipuji Dunia Karena Selamatkan 100 Pengungsi Rohingya yang Terombang-ambing di Laut
Para pengungsi meminta disiapkan perahu yang bagus karena mereka sebenarnya ingin ke Australia.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Warga Desa Lancok Provinsi Aceh berhasil menolong sekitar 100 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di atas perahu mereka di perairan Aceh Utara pekan lalu.
Para pengungsi meminta disiapkan perahu yang bagus karena mereka sebenarnya ingin ke Australia.
Hingga saat ini, para pengungsi telah mendapatkan bantuan makanan dari warga yang berada di Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara.
Namun sebagian di antara mereka masih memerlukan bantuan medis setelah berada di lautan selama lima bulan.
Menurut Rima Shah Putra dari LSM Yayasan Geutanyoe di Aceh, sejumlah pengungsi perempuan mengalami masalah higienis dan gatal-gatal, katanya saat dihubungi ABC.
Pihak berwenang juga telah melakukan tes virus corona dan dari hasilnya dipastikan tidak ada yang tertular.
Sebanyak 79 pengungsi diantaranya kaum perempuan dan anak-anak yang kini ditampung sementara di salah satu fasilitas imigrasi.
Menurut Rima, para nelayan setempat melakukan upaya pertolongan bagi para pencari suaka karena pertimbangan hukum adat, yang mewajibkan mereka membantu siapa pun yang mengalami kesulitan di lautan.
Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib, seperti dikutip oleh media setempat, mengatakan para pencari suaka Rohingya menyatakan keinginan mereka melakukan perjalanan ke Australia.
"Sebelumnya kami telah berkomunikasi dengan warga Rohingya menggunakan penerjemah," kata Bupati Thaib.
"Mereka meminta kapal yang bagus untuk melanjutkan perjalanan ke Australia," ucapnya.
Mengenai keinginan pengungsi Rohingya untuk mencari kehidupan yang lebih baik ke Australia, sejumlah kalangan mendorong Indonesia dan Australia agar membicarakan hal ini dengan Myanmar.
"Tujuan akhir mereka Australia," ujar Profesor Heru Susetyo dari Universitas Indonesia.
Profesor Heru mengatakan Indonesia perlu mendesak Myanmar untuk berhenti "menganiaya warganya".
Hal senada diutarakan Rima dari Yayasan Geutanyoe.
"Ini peringatan bagi Australia agar menekan Myanmar dan pemerintah negara-negara Asia Tenggara untuk berbuat sesuatu," katanya.
"Setidaknya untuk menghormati hak asasi manusia para pengungsi ini," ujar Rima.
Perwakilan badan pengungsi PBB, Anne Maymann memuji langkah pemerintah setempat di Aceh yang mengizinkan para pengungsi untuk berlabuh.
"Indonesia telah beberapa kali menjadi negara yang memberi contoh kepada negara lain di kawasan ini," katanya.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid secara terpisah menyatakan, warga Aceh telah menunjukkan aspek terbaik kemanusiaan.
"Mendaratnya para pengungsi Rohingya ini jadi momen optimisme dan solidaritas. Semua ini berkat keinginan kuat dari masyarakat Aceh yang berani ambil risiko, sehingga anak-anak, perempuan dan laki-laki ini dapat dibawa ke pantai," katanya.
Pada bulan Mei 2015, nelayan Aceh juga memberikan pertolongan saat sekitar 1.000 pengungsi Rohingya tiba di provinsi tersebut.
Warga Rohingya yang sebagian besar Muslim kini hidup tanpa kewarganegaraan, setelah melarikan diri dari penganiayaan brutal di Myanmar selama beberapa dekade.
ASEAN harus terima pengungsi Rohingya
Koalisi LSM di Indonesi telah mendesak negara-negara anggota ASEAN agar lebih serius menekan Myanmar untuk menghentikan "kejahatan kemanusiaan yang terus berlangsung di negara itu".
"Negara-negara anggota ASEAN harus menerima para pengungsi Rphingya dan bukannya menolak sehingga mereka menjadi terombang-ambing di tengah laut," kata koalisi tersebut.
Namun dalam Pertemuan ke-36 ASEAN yang digelar secara online pekan lalu, masalah pengungsi Rohingya tidak menjadi pembahasan utama karena negara-negara ini fokus pada pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
PM Malaysia, Muhyiddin Yassin dalam kesempatan itu menyatakan, "kami tak bisa lagi menampung pengungsi tambahan karena sumberdaya dan kemampuan kami sudah terkuras oleh pandemi COVID-19".
"Malaysia secara tidak adil diminta untuk berbuat lebih banyak untuk menampung para pengungsi yang datang," ujarnya.
Sejak beberapa bulan terakhir, PBB telah memperingatkan Asia Tenggara akan menghadapi terulangnya krisis Laut Andaman tahun 2015, ketika ribuan orang Rohingya terombang-ambing di laut akibat penolakan sejumlah negara.
Akibatnya, sekitar 370 orang tewas saat itu.
Pandemi COVID-19 kini memperburuk kondisi di tempat pengungsian terbesar di dunia di Cox's Bazar, Bangladesh, mendorong banyak penghuninya mencari suaka ke tempat lain.
Bulan lalu, PBB menyatakan prihatin dengan adanya perahu-perahu yang dijejali kaum perempuan, pria dan anak-anak terombang-ambing di perairan yang sama. Mereka tak bisa mendarat, kekurangan makanan, air tawar, dan obat-obatan.
Australia memainkan peran sentral bersama dengan AS dan pemerintah setempat dalam menyelesaikan krisis 2015 tersebut.
Usman Hamid dari Amnesty Internasional menyatakan, Indonesia dan Australia dapat mencari solusi atas permasalahan ini melalui mekanisme 'Bali Process', yang secara historis berfokus pada perdagangan manusia.
"Pemerintah Indonesia harus memulai komunikasi intensif dengan para pemimpin negara di ASEAN dan Bali Process untuk menyelamatkan semua orang yang terjebak di perahu-perahu tersebut," katanya.
"Banyak sekali orang meninggal dalam perjalanan ini. Kini waktunya bagi para pemimpin untuk menyelamatkan nyawa manusia," ujar Usman.
Sementara itu Human Rights Watch menyatakan jika negara-negara Asia Tenggara "tanpa memiliki perasaan, menyerah begitu saja dalam melindungi pengungsi Rohingya."
'Bukan masyarakat kaya'
Orang Aceh yang menolong para pengungsi Rohingya ini memiliki sejarah konflik sendiri, yaitu pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka terhadap Pemerintah Indonesia yang terjadi antara tahun 1976 dan 2005.
Selama konflik tersebut, sebagian orang Aceh melarikan diri sebagai pengungsi ke negara-negara tetangga termasuk Malaysia dan Australia.
Pemberontakan GAM berakhir setelah bencana tsunami 2004 yang menghancurkan wilayah itu.
"Mungkin karena orang Aceh sendiri pernah menderita di masa sebelumnya, harus melarikan diri dari konflik dan karena tsunami," ujar Rima dari Yayasan Geutanyoe.
Namun ia mengatakan kapasitas masyarakat Aceh untuk menampung para pengungsi juga terbatas.
"Pada akhirnya, rakyat Aceh menginginkan ASEAN turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan ini bersama-sama," ujarnya.
"Kami bukan masyarakat yang kaya-raya," tambahnya.
Malaysia sebelumnya telah mengizinkan pengungsi Rohingya datang dengan perahu dari Bangladesh atau Myanmar, tapi sejak April lalu, Pemerintah negara itu menolak sebuah perahu yang membawa sekitar 200 pengungsi karena kekhawatiran soal COVID-19.
8 Juni lalu, sebuah perahu rusak saat membawa ratusan pengungsi Rohingya yang mendarat di pesisir Malaysia.
Mereka yang selamat menceritakan puluhan rekannya telah tewas dalam perjalanan berbulan-bulan dari Bangladesh.
Para advokat takut jika orang-orang ini, 269 di antaranya saat ini ditahan, juga pada akhirnya akan dikembalikan ke laut oleh otoritas Malaysia.
Direktur Asia pada Human Rights Watch, Brad Adams menyatakan, meskipun Myanmar jelas harus bertanggung jawab atas penderitaan para pengungsi Rohingya, Malaysia dan Thailand juga jangan lagi menutup mata pada risiko dan penderitaan yang dihadapi pengungsi di laut.
Pada April lalu, petugas pantai Bangladesh menyelamatkan hampir 400 orang Rohingya yang terombang-ambing di laut selama berminggu-minggu setelah gagal mencapai Malaysia.