Silih Serang AS vs China Itu Komoditas Politik Berbahaya Jelang Pilpres AS 2020
Tak hanya Trump yang menggunakannya sebagai senjata politik, narasi China juga dipakai calon kompetitor Trump, Joe Biden serta kubu Demokrat.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Pemerintah AS pekan ini meminta China menutup kantor konsulatnya di Houston, AS. Kantor itu diduga jadi tempat persembunyian mata-mata China.
Biro Penyelidik Federal (FBI) melakukan operasi besar terkait operasi spionase yang dituduhkan ke China.
Hari ini, Jumat (24/7/2020), Beijing balas meminta AS menutup kantor konsulatnya di kota Chengdu, China.
Tensi ketegangan AS-China terus meningkat menyusul pidato Menlu AS Mike Pompeo di Perpustakaan Nixon di California.
Pompeo mengajak sekutunya mengambil tindakan lebih kreatif dan lugas terhadap Partai Komunis China. Ia bahkan menyerukan “perang suci” melawan Tiongkok.
Pompeo juga menuduh Direktur WHO bekerja untuk kepentingan China. Ia juga dipilih berkat campur tangan China. Saat ini AS telah keluar dari WHO.
Beijing membantah semua narasi Mike Pompeo, mengecamnya sebagai pidato yang menghidupkan kembali mentalitas perang dingin dan ada bias ideologis.
"Pernyataan Pompeo dipenuhi mentalitas perang dingin. Ini kombinasi kebohongan politik oleh politisi AS baru-baru ini. Kami tegas menentang ini," kata Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri China di Beijing, Jumat (24/7/2020).
Presiden AS Donald Trump dalam berbagai kesempatan tidak segan menyerang China. Terutama terkait pandemi virus Corona.
Komoditas Politik Domestik
Penulis senior media Russia Today, Nebojsa Malic, mengulas, retorika Washington terhadap China itu menggoreng komoditas global demi kepentingan domestik AS.
Isunya digoreng sebagai modal kampanye Pemilihan Presiden AS, 21 November 2020, empat bulan dari sekarang.
Tak hanya Trump yang menggunakannya sebagai senjata politik, narasi China juga dipakai calon kompetitor Trump, Joe Biden serta kubu Demokrat.
Menurut Malic, tak peduli siapa yang kalah atau menang, China muncul sebagai senjata paling seksi untuk saling menampar, menarik perhatian pemilih di Pilpres AS mendatang.
Dalam kasus Hongkong misalnya, politisi Demokrat mengecam dan menyerang China. Mereka menyebut China melakukan represi politik terhadap rakyat Hongkong.
Bagi Trump, mencemooh China bukan sesuatu yang baru. Ia melakukannya sejak lama. Mengecam apa yang disebutnya praktik bisnis "tidak adil".
Langkahnya itu dilakukan sekaligus mendorong tawar-menawar yang sulit dalam pembicaraan perdagangan dua negara, yang tuntas malam menjelang pandemi global corona.
Presiden AS terus mengecilkan China terkait angka kematian akibat virus corona. Ia menuduh Beijing “menggoreng” virus corona di laboratorium Wuhan.
China juga dipakai Trump guna menyerang Joe Biden. Ia menyebut Biden "lunak" dan "terlalu nyaman" bersama China.
Putra Joe Biden ikut diseret-seret karena bekerjasama dengan perusahaan China, sama seperti dia (Biden) melakukannya di Ukraina.
Kubu Biden menjawab kampanye negatif Trump itu sebagai ekspresi xenophobia. “Kekhawatiran seperti itu tidak boleh dibicarakan dan bersifat xenofobia," kata Direktur Komunikasi Kampanye Biden, Tim Murtaugh.
Senjata Russiagate ala Demokrat
Kubu Demokrat sebelumnya dalam pertarungan merontokkan Trump, telah berusaha mengunci Trump atas tuduhan terlibat skandal Rusia guna memenangkan kursi Presiden AS.
Kubu Biden juga menyerang balik Trump, menyebut Presiden AS itu terlalu lama bereaksi terhadap pandemi corona karena lebih memilih membuat kesepakatan perdagangan dengan China.
Memo Demokrat itu dipublikasikan media Axios pekan ini. “Menyebut Trump lemah di China adalah "pernyataan yang meremehkan," tepis siaran pers kubu Trump.
Baik Trump dan Biden, menurut Nebojsa Malic yang pernah aktif bekerja di situs Antiwar.com, tidak memikirkan risiko mempertaruhkan konfrontasi melawan kekuatan baru dunia itu.
Menggunakannya hanya sebagai cara untuk memenangkan kekuasaan (kursi presiden) di dalam negeri adalah mengganggu dan berbahaya.
Menurut Malic, ini bukan pertama kali dilakukan super power. “Umpan merah” adalah hal yang paling populer selama Perang Dingin. Politik identitas untuk menyerang kubu komunis.
Kembali ke masa 2012, Barrack Obama disindir Capres Partai Republik, Mitt Romney tentang kebijakan luar negerinya yang lunak ke Rusia.
Hanya dalam beberapa tahun saja, Demokrat berubah wajah. Mereka kini terus mendorong isu konspirasi Rusia, yang andil terhadap kemenangan Trump di Pilpres lalu.
Menurut Malic, peran kambing hitam terhadap kekhawatiran politik domestik AS kini telah dialihkan ke China melalui konsensus bipartisan.
Para elite AS secara bersama-sama mengecilkan angka kematian akibat virus corona di negeri itu yang telah melebih jumlah 100 ribu jiwa.
Puluhan juta orang kehilangan pekerjaan dalam sekejap. Mereka tidak mempertimbangkan apa yang mungkin dilakukan Tiongkok sebagai balasan atas serangan itu.
Realitasnya, China memiliki pengaruh ekonomi sangat kuat bagi AS sebagai dampak globalisasi.
Banyak perusahaan berbasis di AS telah mengalihdayakan seluruh rantai pasokan mereka ke luar negeri, seperti pandemi yang diilustrasikan dengan sangat menyakitkan ini.
Beijing juga memegang utang AS dalam jumlah besar, dan orang-orang kaya China memiliki cukup pengaruh atas studio film Hollywood atau NBA.(Tribunnews.com/RussiaToday)