Petani Ini Menggarap Ladang di Tengah Bandara Tersibuk di Jepang Karena Menolak Lahannya Digusur
Tidak ada peninggalan yang tersisa dari 30 keluarga tersebut di desa itu, kecuali lahan pertanian dan rumah Shito.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JEPANG - Keluarga Takao Shito telah bertani sayuran di ladang yang sama selama lebih dari 100 tahun.
Kakeknya adalah petani, ayahnya juga, dan kini dia turut meneruskan pekerjaan sebagai petani. Namun, ada beberapa hal yang sedikit membedakan dia dengan pendahulunya.
Dahulu, lahan pertanian Takao adalah bagian dari sebuah desa dengan 30 keluarga yang dikelilingi oleh ladang terbuka, sebagaimana dilansir Oddity Central, Selasa (18/8/2020).
Namun, kini desa tersebut disulap menjadi sebuah bandar udara ( bandara) terbesar kedua di Jepang, Bandara Narita di Prefektur Chiba, Jepang.
Baca: Seorang Wanita Cantik Jepang Akan Gaji Rp 55 Juta Bagi Pria yang Mau Jadi Pacarnya, Ini Syaratnya
Tidak ada peninggalan yang tersisa dari 30 keluarga tersebut di desa itu, kecuali lahan pertanian dan rumah Shito.
Pesawat terbang di atas kepalanya 24 jam sehari dan satu-satunya cara untuk keluar dari lahannya adalah melalui terowongan bawah tanah.
Dia telah berjuang untuk mempertahankan tanahnya selama lebih dari 20 tahun, bahkan menolak tawaran lebih dari 1,7 juta dollar AS (Rp 25 miliar) untuk tanahnya.
“Ini adalah tanah yang digarap oleh tiga generasi selama hampir satu abad, oleh kakek saya, ayah saya, dan saya sendiri. Saya ingin terus tinggal di sini dan bertani,” kata Shito kepada AFP, beberapa tahun lalu.
Ayah Takao, Toichi, adalah salah satu petani yang dengan gigih menolak rencana pemerintah untuk memperluas Bandara Narita sejak dekade 1970-an.
Sebagian besar petani lain di daerah itu telah diyakinkan untuk menjual tanah mereka dengan uang yang cukup banyak, tetapi Toichi Shito tidak mau mengalah hanya demi uang.
Keyakinannya yang gigih menular ke ananya, Takao, yang saat itu masih kecil.
Bahkan, ketika Toichi meninggal pada usia 84 tahun, Takao berhenti dari pekerjaannya di bisnis restoran dan kembali ke pertanian keluarga untuk melanjutkan perjuangan ayahnya.
Kehidupannya juga tidak mudah. Takao terus-menerus terlibat dalam perselisihan hukum untuk menghentikan pihak berwenang secara paksa mengusirnya dari tanahnya.
Tentu saja itu melelahkan, begitu juga dengan bertani itu sendiri. Namun, dia tidak berniat untuk mundur sejengkal pun.