Bertemu Abu Zubaydah, Operator Utama Osama bin Laden di Peshawar Pakistan (4)
Omar Nasiri mengetahui ada sentimen Taliban terhadap orang-orang Arab di kamp Al Qaeda. Pertikaian antarfaksi mujahidin juga terasa kuat.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Meski tiap hari berlatih keras, Nasiri merasakan suasana yang cocok di pegunungan itu. Terlebih Khaldan begitu terpencil, dan begitu juah dari kegaduhan seperti di kota-kota besar di Asia dan Eropa.
Radio ada, dan kadang diam-diam dinyalakan. Mereka menangkap sayup-sayup siaran radio hiburan dari China, India, dan tempat-tempat lainnya. Suaranya datang secepat ia pergi.
Nasiri mengaku hanya pernah sekali mendengar siaran musik memutar agak utuh, tembang Zombie dari Cranberries. Untuk radio berita, siaran BBC dan RFI bisa ditangkap secara jelas.
Tahun itu 1995, Afghanistan terjerumus pertikaian faksi Islam. Gulbudin Hekmatyar dari Hezb i-Islami bertarung melawan faksi Burhanudin Rabbani yang berkuasa dan Ahmad Shah Masood.
Mereka juga menghadapi Taliban, yang mulai berjaya dengan dukungan intelijen Pakistan. Kabul terkepung, menunggu waktu jatuh ke tangan Taliban.
Penghuni kamp Khaldan tidak begitu menyukai Taliban, meski tidak pernah terungkap secara verbal. Sheikh al-Libi sangat berhati-hati tentang ini.
Kamp itu pernah didatangi serombongan Taliban bersenjata lengkap. Mereka menginginkan senjata dan amunisi yang disimpan di kamp itu.
Sheikh al-Libi menerima secara ramah rombongan Taliban. Ia meyakinkan semua yang di kamp itu tidak disiapkan untuk berperang di Afghanistan.
Para Taliban itu bisa menerima penjelasan al-Libi. Mereka kemudian pergi ke kamp-kamp lain. Nasiri mendengar di kamp lain, para emir ketakutan dan memenuhi tuntutan Taliban.
Bertemu Abu Hamza, Tokoh Radikal Inggris yang Tangannya Buntung
Kehidupan di Khaldan kembali berlangsung normal, kendati diliputi kekhawatiran tekanan berulang dari kelompok Taliban.
Hingga suatu hari, Nasiri menyaksikan momen sangat menarik. Dua bocah laki-laki tiba di kamp. Ibnu Sheikh al-Libi memperkenalkan mereka kepada penghuni di masjid kamp.
“Sambutlah kawan-kawan baru kalian. Ini Hamza,” ucapnya menunjuk anak laki-laki yang lebih tua. “Dan ini Osama,” lanjut al-Libi. Keduanya tampak diperlakukan lebih istimewa.
Kedua bocah itu sangat berbeda karakter. Hamza pendiam, adiknya hiperaktif. Mereka kerap berkelahi, bahkan pernah saling todong senjata api.