Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Omar Nasiri Mendengar Rekaman Dramatis Detik-detik Serbuan Pembajak Pesawat  Air France 8969 (2)

Omar Nasiri mengetahui rencana aksi pembajakan pesawat Air France dari Aljazair tujuan Paris. Pelakunya teman dan saudara dekat Omar Nasiri.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Omar Nasiri Mendengar Rekaman Dramatis Detik-detik Serbuan Pembajak Pesawat  Air France 8969 (2)
Foto Buku Omar Nasiri
Buku Inside The JIhad ditulis Omar Nasiri, mata-mata berbagai lembaga intelijen Eropa yang sukses menyusupi Al Qaeda di Afghanistan. 

Samuel Paty, seorang guru sejarah di Prancis, tewas dipenggal pemuda berdarah Chechnya. Aksi ini menyodorkan fakta betapa paham radikal begitu dalam menyusupi bangsa Prancis. Omar Nasiri lewat bukunya “Inside The Jihad: A Spy’s Story”, menguak bagaimana kaum radikalis bekerja di Eropa. Banyak hal bisa dicegah, termasuk serangan maut  9/11 ke New York, jika saja Nasiri tak diremehkan. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Omar Nasiri kesal. Ia dapati setumpuk senapan mesin, ribuan peluru teronggok di loteng rumahnya. Ia tahu, itu pekerjaan teman-teman kakaknya. Nasiri merasa ibunya dalam bahaya.

Sebagian besar senjata dan peluru itu hasil belanjaannya. Ia tidak menyangka, barang itu masih ditimbun. Sebab, sebelumnya biasanya langsung dikirimkan ke luar entah ke mana. Nabil, adiknya, juga gusar.

Nasiri berusaha mengeluarkan Amin, Yasin dan dua temannya keluar dari rumah. Tapi ia tidak tahu caranya.

Hingga suatu saat, Nasiri menemukan ide. Ia mencuri uang 25 ribu Franc dari tas Yasin. Ia berharap Yasin mengetahuinya, merasa terganggu, dan pergi.

Baca juga: Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)

Ternyata ia keliru. Pencurian itu justru membuat mereka marah. Begitu juga Hakim, kakaknya. Nasiri dianggap taghut, musuh Islam, dan ia harus dibunuh.

Nasiri tertegun, berpikir keras, dan satu-satunya yang muncul di pikirannya, ia harus melapor ke pihak Prancis di Brussel.

Berita Rekomendasi

Ia tahu, Prancis bakal jadi target ekstremis Amin, Yasin, dan kakaknya. Melapor ke otoritas Belgia percuma. Ia hanya akan dianggap angin lalu. 

Nasiri lalu pergi ke kantor Konsulat Prancis, berusaha menemui orang yang tepat. Hari pertama gagal. Ia dijanjikan hari berikutnya akan ditemui orang yang tepat.

Benar, lewat permainan mata-mata yang ketat, ia akhirnya bertemu Gilles di sebuah kamar hotel mewah. Nasiri bercerita tentang senjata, tentang orang-orang di rumahnya yang mengorganisir sesuatu.

Tentang pencurian dan ancaman pembunuhan atas dirinya. Tentang keselamatan ibu dan adik-adiknya. Ia ingin Gilles membantu menyudahinya.

Nasiri Jadi Mata-mata Dinas Rahasia Prancis

Di ujung pembicaraan, Gilles menyuruh Nasiri kembali ke rumah, meminta maaf pada Yasin, Tarek, dan kakaknya, dan berjanji mengembalikan uang yang dicurinya.

Gilles akan membantu menyediakan uang yang dibutuhkan. Detik itu juga Nasiri tahu, Gilles orang penting di DGSE, dinas rahasia Prancis.

Ia menginginkan informasi jauh lebih banyak dari Nasiri, dengan cara mengembalikan Nasiri ke kelompok Amin dan Yasin di rumahnya.

Nasiri tertegun. Ia kini bakal jadi mata-mata DGSE. Pulang ke rumah, Nasiri meminta maaf ke kakaknya, atas kekhilafannya mencuri uang Yasin dan Tarek di rumahnya.  Ia ingin bertobat.

Jelas, Nasiri berbohong, untuk mendapatkan pengampunan. Ia mulai menjalankan fungsi ganda sebagai mata-mata. Gilles memonitornya secara ketat.

Lewat serangkaian pertemuan rahasia, Nasiri pelan-pelan mengetahui siapa Amin, Yasin, dan teman-temannya. Tentu saja dari Gilles, yang sudah lebih dulu memahami kegiatan kelompok itu.

Amin adalah kepala politik GIA untuk cabang Brussel. Yasin mengelola sayap militer, pembelanja logistik dan senjata, lalu memasoknya ke suatu tempat lain.

Setahun berlalu, Nasiri melaksanakan peran gandanya secara sempurna. Ia memasok banyak info penting ke Gilles. Sebaliknya, ia mendapatkan bantuan dana dari pria itu.

Nasiri kini menjejakkan kakinya kian dalam ke medan pertempuran tak kelihatan. Pertarungan keras penuh tipu daya, kepura-puraan, sekaligus kejam tanpa kompromi.

Nasiri sadar, intelijen di manapun bisa bermanis muka, pemurah hati, tapi bisa tanpa ampun menyesap darah mata-matanya sampai habis tak bersisa.

Tiba hari itu, 24 Desember 1994, empat radikalis GIA menyamar jadi polisi kepresidenan. Mereka masuk ke kabin pesawat Air France 8969 di Bandara Houari Boumedine, Algiers, Aljazair.

Ada 224 orang di kabin Airbus A-300 yang hendak menuju Bandara Orly di Paris, Prancis. Jumlah itu termasuk empat pembajak dan 12 kru pesawat.

Segalanya berjalan normal, hingga ketika semua sudah berada di kabin, empat pria berseragam polisi memeriksa paspor penumpang, dan merangsek ke kokpit. Kedok mereka terbongkar.

Mereka bersenjata, dan mengumumkan aksinya dengan membunuh seorang perwira polisi Aljazair di pesawat. Mayat itu dilemparkan begitu saja ke landasan.

Pemerintah Aljazair dan Prancis terkesiap atas peristiwa itu. Pesawat akhirnya dilarang meninggalkan bandara. Negosiasi alot berlangsung. Pembajak sekali lagi membunuh sandera.

Militer Aljazair mengepung pesawat nahas itu. Prancis mengirimkan 35 prajurit komando GIGN ke Palma de Mallorca di Spanyol, transit sebelum menunggu izin masuk Algiers.

Pembajak yang dipimpin Abdul Abdullah Yahia  menuntut pesawat segera terbang ke Paris. Jika tidak diizinkan, mereka akan membunuh lebih banyak lagi penumpang pesawat itu. Hampir dua hari negosiasi dilakukan.

Korban ketiga ditembak mati, dan jenazahnya dilempar ke landasan pada malam sebelum hari berikutnya, Prancis membuka jalan pesawat terbang dan masuk wilayahnya.

Tidak ke Paris, melainkan ke Marseilles. Mereka mengantisipasi kemungkinan pembajak menabrakkan pesawat ke Eiffel, simbol penting negara itu.

Sebelum pesawat yang dibajak terbang, pasukan komando GIGN meninggalkan Palma de Mallorca, mendahului pendaratan di Bandara Marseilles.

Nasiri memahami peristiwa itu sebagai aksi yak tak bisa diterima. GIA melakukan kekejaman tiada tara di Aljazair. Tak hanya ke rezim berkuasa, rakyat sipil jadi korban. Bahkan ternak mereka juga.

Pesawat yang dibajak tak hanya berisi warga Prancis. Banyak juga imigran Aljazair, muslim, yang menumpang untuk tujuan mengunjungi keluarga atau pulang setelah menengok kampung halamannya. 

Omar Nasiri Tahu Kelompok Pembajak Ada di Rumahnya

Di rumahnya, Nasiri menyaksikan Amin, Yasin, Tarek, dan Hakim begitu riang membicarakan kabar aksi pembajakan itu. Mereka menginginkan pembantaian ini dilihat dunia.

Tiba di Marseilles, pasukan komando GIGN bertindak cpat. Pesawat diserbu lewat tiga jurusan secara bergelombang. Pertempuran sengit pecah diwarnai rentetan tembakan dan granat yang berledakan.

Setelah 35 menit berlalu, empat pembajak tewas di kabin dan kokpit. Semua penumpang dan kru pesawat selamat. Belasan prajurit GIGN terluka dalam pertempuran singkat itu.

Belakangan Nasiri tahu, para pembajak telah menyelundupkan banyak dinamit ke pesawat. Mereka berencana meledakkan pesawat di atas Paris, sebuah bom api yang ingin dipamerkan ke dunia.

Rencana lain, mereka ingin mengambilalih pesawat. Tapi ternyata mereka mengandalkan pilot Air France, yang menjalankan perintah mereka.

Bertahun kemudian, Nasiri sadar, Al Qaeda belajar dari aksi ini.  Mereka lalu berusaha mendaftarkan anggota-anggota pilihan mereka belajar di sekolah penerbangan.

Inilah panen yang dituai Amerika Serikat, ketika para pembajak merebut empat pesawat komersial di sejumlah bandara AS, lalu menggunakannya sebagai peluru terbang pada 11 September 2001.

Sehari setelah pembajakan berakhir, Nasiri ikut meriung di meja makan bersama Amin, Yasin, Tarek, dan Hakim. Mereka memuji-muji para pembajak, dan mengutuki pemerintah Prancis.

“Mereka memberitahuku, para pembajak itu tidak mati, melainkan hidup di surga, dibuai perawan suci sebagai ganjaran atas perjuangan mereka,” kata Nasiri. Ia mual mendengarnya.

Sehari kemudian, Nasiri kembali mendapat kejutan. Di ruang tamu, Amin dan Yasin memutar rekaman suara di kabin pesawat yang dibajak.  Durasinya lebih dari dua jam.

Ia mendengar alotnya perundingan, ancaman pembajak, dan permintaan bahan bakar agar pesawat bisa kembali terbang ke Paris.

Tiba-tiba terdengar jeritan riuh, pembajak meneriakkan takbir, taghut, dan pujian untuk para mujahidin. Lalu, rentetan tembakan dan ledakan terdengar.

“Sangat mengerikan,” kata Nasiri. “Namun bagiku yang paling mengerikan, kami memiliki rekaman tersebut. Tidak ada yang memilikinya selain kami,” lanjutnya.

Seseorang terkait pembajak, menurut Nasiri, telah merekamnya secara langsung, mungkin di Algiers, mungkin di Marseilles, atau entah di suatu tempat lain.

Seseorang yang bekerjasama dengan para pembajak. Seseorang yang mengenal Amin dan Yasin, dan mungkin juga kakaknya, Hakim.

Lebih jauh Nasiri berpikir, mungkin juga terhubung dengannya karena ia pembelanja senjata untuk GIA. “Aku memang bukan pemicunya, tapi mungkin aku memasok senjata dan peluru untuk mereka,” ujarnya.

“Aku seorang pembunuh, persis seperti mereka,” lanjut Nasiri di buku pengakuannya. Ia lalu memberitahukan semua yang dialaminya kepada Gilles.

Beberapa minggu kemudian, Nasiri  mendapat perintah untuk mencari tahu informasi bahan peledak ke Laurent. Yasin ingin Nasiri mencari info tentang Semtex dan detonatornya.

Setelah mendapat titik terang, Yasin berusaha mencari tahu rumah Laurent. Nasiri tak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu.

Pastinya, Hakim di suatu hari kemudian memintanya mengantar mobil Audi berisi karpet dan paket lain ke Maroko, hadiah untuk teman baiknya.

Mobil itu harus diantar lewat jalur darat. Nasiri tidak pernah memeriksa barang yang diangkut di mobilnya. Tapi ia tahu ada bahan peledak berkekuatan tinggi di dalamnya.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga - Bersambung)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas