Pengunjuk Rasa Thailand Demo di Markas Tentara, Tolak Kontrol Militer oleh Raja
Konstitusi Thailand mengatakan monarki harus dihormati dan ada hukum yang melarang penghinaan terhadap institusi tersebut.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, BANGKOK - Ribuan pengunjuk rasa anti-pemerintah Thailand bergerak menuju barak militer pada hari Minggu (29/11/2020) untuk menentang kendali pribadi Raja Maha Vajiralongkorn atas beberapa unit militer.
Reuters memberitakan, aksi tersebut merupakan tindakan pembangkangan terbaru terhadap raja oleh pengunjuk rasa yang telah melanggar tabu dengan mengkritik monarki.
Konstitusi Thailand mengatakan monarki harus dihormati dan ada hukum yang melarang penghinaan terhadap institusi tersebut.
Baca juga: Heboh 1.450 Foto Syur Selir Raja Thailand Beredar, Ulah Hacker Penentang Monarki?
Para pengunjuk rasa tampak berhenti di gerbang Resimen Infantri ke-11, bagian dari Pengawal Raja yang berperan dalam penindasan protes anti kemapanan pada tahun 2010.
Barisan polisi anti huru hara memblokir pengunjuk rasa di gerbang.
“Tidak ada negara demokratis yang melihat seorang raja mengendalikan pasukan. Di negara demokratis mana pun dengan raja sebagai kepala negara, angkatan bersenjata melapor kepada pemerintah,” kata Arnon Nampa, seorang pengacara hak asasi dan pemimpin protes yang sering mengkritik monarki seperti yang dikutip Reuters.
Baca juga: Pengunjuk Rasa Thailand Lempar Cat hingga Semprotkan Air ke Markas Polisi
“Kami telah melihat monarki memperluas kekuasaannya. Itu sebabnya kami ada di sini hari ini," tambahnya.
Istana Kerajaan Thailand tidak berkomentar sejak aksi protes dimulai. Akan tetapi, raja sendiri baru-baru ini mengatakan bahwa pengunjuk rasa akan tetap dicintai "dengan sama" meskipun melakukan penentangan kepada raja.
Para pengunjuk rasa menuduh monarki memungkinkan dekade dominasi militer. Ada 13 kudeta yang berhasil sejak 1932, ketika pemerintahan absolut oleh raja berakhir.
Melansir Reuters, aksi protes dimulai pada Juli dan awalnya menuntut kepergian Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta, dan konstitusi baru. Demonstran telah memperluas tuntutan mereka sejak saat itu untuk memasukkan pembatasan kekuasaan raja.
Arnon adalah salah satu dari beberapa pemimpin aksi protes yang menghadapi dakwaan di bawah undang-undang lese majeste karena menghina kerajaan setelah pidato yang dia buat pada aksi demonstrasi sebelumnya.
Kementerian Luar Negeri mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Thailand mematuhi aturan hukum dan hak kebebasan berbicara harus tetap dalam batas-batas tersebut.
“Dalam setiap kasus di mana hukum dilanggar, pejabat mengambil tindakan dengan kepatuhan yang ketat pada proses hukum yang sesuai tanpa diskriminasi,” kata kementerian.
Perdana menteri telah menolak untuk mundur dari jabatannya dan menolak tuduhan bahwa dia merekayasa pemilu tahun lalu untuk mempertahankan kekuasaan setelah menjabat pada 2014.
Video yang dibagikan di media sosial menunjukkan tentara menurunkan foto raksasa raja dan ratu di pintu masuk barak sebelum aksi protes berlangsung.
Berita ini tayang di Kontan: Makin panas! Pengunjuk rasa Thailand menentang kekuatan militer raja