Pengungsi Perang Tigray Bertahan Hidup dalam Pengasingan di Sudan
Sejak pertempuran meletus antara pasukan Ethiopia dan TPLF wal musim gugur kemarin, puluhan ribu warga sipil melarikan diri ke Sudan.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Sejak pertempuran meletus antara pasukan Ethiopia dan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) awal November 2020, puluhan ribu warga sipil melarikan diri ke perbatasan negara tetangga, Sudan.
Namun, perjuangan para pengungsi perang tak berakhir di situ, mereka harus bertahan hidup di pengasingan di Sudan.
Mengutip France24, pada 1 Desember 2020, lebih dari 45.000 pengungsi Tigray melintasi perbatasan Ethiopia-Sudan.
Baca juga: PM Ethiopia Klaim Pasukan Pemerintah Telah Kendalikan Ibu Kota Kekuasaan Tigray
Baca juga: PM Ethiopia Sebut Wilayah Kekuasaan Tigray Kini Sudah Dalam Kendali Tentara Nasional
Diperkirakan, korban perang Tigray ini akan mengungsi di perbatasan Sudan dalam beberapa bulan ke depan.
Semuanya tergantung perkembangan bagaimana konflik antara Ethiopia dan Tigray.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, jumlah pengungsi Ethiopia di Sudan akan membengkak hingga sebanyak 200.000 orang.
Para Pengungsi Berjalan Kaki dan Hanya Bawa Pakaian yang Dikenakan
Lebih lanjut, para pengungsi hanya membawa pakaian yang dikenakan.
Untuk sampai di perbatasan Sudan, mereka menggunakan gerobak dengan traktor atau dengan berjalan kaki.
Beberapa pengungsi perang ini telah menghabiskan dua pekan berjalan mencari keselamatan.
Sebagian besar waktu perjalanan mereka habiskan dengan menahan lapar.
Dalam pelarian ini, para pengungsi pun masih harus menghindari desa yang diduduki oleh milisi atau tentara.
Meski Sudan setuju membuka pintunya bagi para pengungsi Ethiopia, mereka mengaku tak siap jika harus menghadapi gelombang pengungsi selanjutnya.
Desa Hamdayet dan Hashaba, misalnya, segera dibanjiri oleh ribuan pengungsi.
LSM kehabiskan selimut di daerah tersebut.
Banyak pengungsi dilaporkan terpaksa tidur di luar tanpa atap dan selimut.
Baca juga: Konflik Ethiopia: Pemberontak Tigray Diduga Hancurkan Bandara, Diberi 72 Jam untuk Menyerahkan Diri
Baca juga: Pengungsi Asal Afganistan Tewas Gantung Diri di Kamar Kosnya di Bogor
Kamp dari tahun 1980-an dibuka kembali
Untuk menampung membludaknya pengungsi yang melintasi perbatasan, Sudan membuka kembali kamp Um Rakuba.
Ini merupakan kamp pengungsi terlantar yang digunakan pada 1980-an selama perang antara Ethiopia dan Eritrea.
Kamp tersebut dapat menampung lebih dari 10.000 orang.
Baca juga: Kisah Baru Tertembaknya Dua Pesawat Siluman AS di Tengah Perang Balkan 1999
Penjelasan Singkat Perang Tigray
Perang Tigray berawal pada Rabu (4/11/2020) saat Perdana Menteri (PM) Ethiopia, Abiy Ahmed memerintahkan serangan militer terhadap pasukan regional di Tigray.
BBC melaporkan, Perdana Menteri menyebut, serangan itu adalah respons atas serangan pada perumahan militer untuk pasukan pemerintah di Tigray.
Eskalasi ini terjadi setelah pemerintahan Abiy dan pemimpin partai politik yang dominan di Tigray berseteru selama berbulan-bulan.
Hampir 30 tahun, partai politik ini berada di pusat kekuasaan, sampai Abiy menjabat pada 2018 menyusul demonstrasi anti-pemerintah.
Abiy menginginkan reformasi, tapi Tigray melawan, sehingga terjadilah krisis politik.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)