Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Turki Kembali Kirim Dubesnya ke Israel. Apa Tujuan Presiden Erdogan?  

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kerap bertukar retorika berapi-api.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Turki Kembali Kirim Dubesnya ke Israel. Apa Tujuan Presiden Erdogan?  
AFP
Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan 

TRIBUNNEWS.COM, DOHA – Pemerintah Turki telah menunjuk Duta Besar baru untuk Israel, setelah 2,5 tahun mengosongkan utusannya di Tel Aviv.

Presiden Tayyip Erdogan menyetujui penunjukan Kepala Riset Kemenlu Turki, Ufuk Ulutas, sebagai Dubes Turki untuk Israel.

Aljazeera, Kamis (17/12/2020) mengulas, keputusan anyar ini menunjukkan perkembangan baru “permusuhan” kedua negara yang berlangsung beberapa tahun terakhir.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kerap bertukar retorika berapi-api, terutama terkait isu Palestina.

Baca juga: Eks PM Turki Tuduh Erdogan Khianati Turki Sesudah Jual Saham Bursa Efek Istanbul ke Qatar

Baca juga: Tekanan AS dan Eropa Memaksa Turki Makin Dekat ke Rusia dan China

Kabar pertama penunjukan Ufuk Ulutas diinformasikan laman media Al-Monitor, mengutip sumber-sumber mereka di Ankara.

Ufuk Ulutas dipilih supaya membangun kembali jembatan hubungan baik dengan Israel. Ulutas bukan diplomat karir. Ia sebelumnya memimpin sebuah lembaga pemikir pro-pemerintah Ankara.

Dia belajar politik Ibrani dan Timur Tengah di Universitas Ibrani Yerusalem. Ia digambarkan berperangai "sangat halus" dan "sangat pro-Palestina".

Berita Rekomendasi

Ulutas akan menghadapi tugas berat memperbaiki hubungan Turki-Israel, yang berubah dari buruk menjadi lebih buruk dalam beberapa tahun terakhir.

Kasus Penyerbuan Kapal Mavi Marmara

Hubungan tegang di bawah pemerintahan Erdogan diperburuk pada 2010 ketika pasukan komando Israel menyerbu kapal Mavi Marmara, bagian armada yang berusaha menembus blokade ke Gaza.

Serbuan itu menewaskan 8 warga Turki dan seorang aktivis Amerika-Turki di kapal. Sisa penumpang kapal yang mayoritas warga Turki, menyerah ke otoritas Israel.

Turki protes keras atas insiden di perairan lepas pantai Gaza ini. Enam tahun kemudian, Turki-Israel memperbaiki hubungan setelah Netanyahu meminta maaf atas serangan itu.

Ia setuju membayar kompensasi kepada keluarga para korban. Namun, keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan tanggapan keras Israel terhadap protes jalanan Palestina, kembali membuat Turki murka.

Turki menarik Dubesnya pada Mei 2018, membuat hubungan diplomatic kedua negara ada di titik terendah. Meski demikian, Turki dan Israel tetap mempertahankan kedutaan dan konsulat mereka.

Di antara pasang surut diplomatik, baik Erdogan dan Netanyahu terlibat dalam seruan berkala yang tampaknya dirancang untuk kepentingan domestic masing-masing.

Tahun lalu, Erdogan membandingkan kebijakan Palestina Israel dengan holocaust, membuat Netanyahu menuduhnya sebagai seseorang yang "membantai Kurdi di negaranya".

Kabar baru pemulihan hubungan diplomatic Turki-Israel lewat penunjukan Dubes Ufuk Ulutas ini dicapai setelah kepala intelijen masing-masing negara bertemu.

"Mereka mungkin pada prinsipnya setuju normalisasi bertahap, jadi saya berharap retorika ini berhenti dan para pemimpin berhenti berkomunikasi melalui media," kata mantan diplomat senior Turki kepada Al Jazeera.

Israel Tidak Terlalu Antusias Memulihkan Hubungan

Namun, Gallia Lindenstrauss, peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional Universitas Tel Aviv, mengatakan kembalinya Dubes Turki tidak akan mengurangi kecurigaan antara kedua pihak.

Menurutnya Israel terlihat kurang antusias di proses perbaikan hubungan kedua negara. "Kedua pemimpin juga mendapat manfaat secara internal dan eksternal dari perang retorika di antara mereka,” kara Gallia.

“Oleh karena itu, ketika kesempatan muncul lagi, mereka cenderung menggunakan retorika yang berapi-api sekali lagi," imbuhnya.

Turki adalah negara mayoritas muslim pertama yang mengakui negara Israel pada 1949. Selama periode pascaperang negara-negara tersebut menikmati hubungan yang hangat sebagai dua kekuatan non-Arab yang berorientasi barat di wilayah tersebut.

Pemerintah Turki sebelum 2002, atau sebelum Partai Keadilan dan Pembangunan dan Erdogan berkuasa, umumnya membina kerja sama luas di bidang pertahanan, perdagangan, dan pariwisata.

Erdogan mengunjungi Israel pada 2005, menawarkan diri sebagai mediator perdamaian atas pendudukan Palestina.

Tetapi serangan Israel di Gaza pada tahun 2008-2009 memperburuk hubungan kedua negara. Turki menggambarkan serangan itu sebagai terorisme yang disponsori negara.

Meskipun demikian, perdagangan tahunan antar negara telah berkisar antara US $ 4,5 miliar dan US $ 6 miliar selama delapan tahun terakhir.

Selama 10 bulan pertama tahun ini, menurut data Badan Statistik Turki, nilai transaksi perdagangan kedua negara lebih dari US $ 5 miliar.

Kepentingan Politik Domestik Sangat Mempengaruhi

Lisel Hintz, asisten profesor hubungan internasional di Universitas Johns Hopkins, mengatakan peran Erdogan yang merasa dirinya perwakilan kaum Sunni terletak di jantung pendekatannya terhadap Israel.

“Bagi Erdogan, memperjuangkan perjuangan Palestina tak hanya berasal dari keyakinannya sendiri tentang legitimasi Turki sebagai pemimpin muslim regional,: kata Hintz.

“Tetapi juga dari dukungan domestik dan regional yang dapat dia hasilkan setiap kali dia membela Israel secara terbuka,” imbuhnya kepada Al Jazeera.

Memperhatikan retorika anti-Israel Presiden Turki sering kali bertepatan peristiwa politik utama di dalam negeri.

Hintz mengatakan retorika membela Palestina berarti memenangkan dukungan populasi Muslim lainnya. Sementara menantang Israel, berarti memenangkannya dukungan nasionalis di dalam dan luar negeri.

Terlepas dari motivasi ini, Erdogan adalah seorang politisi pragmatis yang bisa membuat perubahan mengejutkan. Contohnya pemulihan hubungan yang didorong ekonomi dengan Israel pada 2016.

Banyak pengamat memandang penempatankembali Dubes Turki di Israel menjadi tanggapan atas tekanan eksternal baru di Turki, serta situasi ekonomi negara yang berbahaya.

Joe Biden yang akan memimpin AS, kemungkinan besar akan membawa Washington mengambil sikap lebih keras terhadap catatan hak asasi manusia Turki dan keterlibatannya di Suriah, Libya, dan Kaukasus.

Pekan terakhir ini saja, Eropa dan AS sama-sama menyetujui sanksi terhadap Ankara; yang pertama atas eksplorasi energinya di Mediterania Timur.

Di konflik ini, Turki melawan anggota UE lain, Yunani dan Siprus. Masalah lain, AS berkepentingan atas pembelian Turki atas sistem rudal S-400 dari Rusia.

"Saya pikir keputusan untuk menunjuk duta besar baru untuk Israel lebih berkaitan dengan situasi di Mediterania Timur," kata mantan diplomat Turki itu.

“Untuk waktu yang lama, kami telah menganjurkan normalisasi hubungan tidak hanya dengan Israel tetapi juga Suriah dan Mesir. Turki seharusnya tidak diisolasi atas cadangan gas dan wilayah yurisdiksi maritim, ”kata mantan diplomat itu.

Namun, hubungan dengan Israel tidak akan mengubah realitas krisis yang mendalam antara Turki dan mitra baratnya," yang difokuskan pada kasus pembelian rudal S-400 dan eksplorasi gas.

Satu poin kunci bagi Israel adalah hubungan Turki dengan Hamas. Sejumlah komandan senior Hamas sekarang tinggal di Istanbul, tempat mereka kerap dilaporkan merancang serangan.

"Jika Turki mengambil sikap menolak kegiatan Hamas di wilayahnya, itu akan sangat positif dari perspektif Israel," tambah Lindenstrauss.(Tribunnews.com/Aljazeera/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas