Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Normalisasi Maroko-Israel dan Kiprah Mossad Menjalankan Operasi Rahasia

Hubungan rahasia Israel-Maroko mencerminkan aliansi klandestin paling teguh antara Israel dan negara Arab mana pun.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Normalisasi Maroko-Israel dan Kiprah Mossad Menjalankan Operasi Rahasia
special ops
Ilustrasi Tim Kidon, spesialis pembunuh yang dibentuk Mossad, dinas rahasia Israel. 

TRIBUNNEWS.COM, YERUSALEM – Atas mediasi pemerintahan Presiden AS Donald Trump, Maroko bersedia merajut hubungan diplomatik dengan Israel.

Menantu Trump yang juga penasihat senior Gedung Putih, Jared Kushner, pekan depan akan memimpin delegasi Israel, terbang menuju Rabat, Maroko.

Penandatanganan normalisasi hubungan akan dilangsungkan sebelum Presiden Trump meninggalkan Gedung Putih, 20 Januari 2021.




Lantas, apa yang terjadi antara Maroko-Israel selama berpuluh-puluh tahun? Benarkah sejatinya mereka sudah menjalin aliansi sejak lama?

Apa peran dan kontribusi Mossad, dinas rahasia Israel? Yossi Melman, kolumnis media Haaretz spesialis bidang intelijen dan militer mengulas lewat tulisan panjang di media Israel ini, Rabu (16/12/2020).

Artikelnya berjudul: “Assassination, Bribes and Smuggling Jews: Inside the Israeli Mossad's Long Secret Alliance With Morocco”.  

Menurut Yossi Melman, selama enam dekade, kedua negara ini telah membangun hubungan sangat rahasia di berbagai bidang.

BERITA TERKAIT

Melman menyebut, aliansi kedua negara ini mencerminkan aliansi klandestin paling teguh antara Israel dan negara Arab mana pun.

Baca juga: Raja Mohammad VI dan PM Netanyahu Saling Memuji Keputusan Perdamaian Maroko-Israel

Baca juga: Pengakuan AS Atas Sahara Barat Jadi Konsesi Perdamaian Maroko-Israel

Buah Proses Hubungan Rahasia Enam Dekade

Normalisasi hubungan antara kedua negara yang diumumkan Presiden Trump pekan lalu, dianggapnya buah proses hubungan rahasia intelijen, militer, politik, dan budaya Israel- Maroko.

Setiap pemimpin Mossad sejak era 1960-an, Amit, Zamir, Hofi, Admoni, Shavit, Yatom, Halevy, Dagan, Pardo, dan pemimpin Mossad saat ini, Yossi Cohen, pernah mengunjungi negara Afrika utara itu.

Melman menyimpulkan, inti aliansi klandestin yang panjang itu selalu sederhana, yaitu  saling mengakui dan bekerja sama satu sama lain, guna melayani kepentingan nasional mereka sebaik-baiknya.

Meski begitu, selama bertahun-tahun itu pula hubungan kadang mengalami pasang surut. Terkadang kontradiktif, tetapi pada intinya selalu tetap kokoh dasarnya.

Sejak awal 1950-an, Israel memiliki kontak dengan Maroko yang diperintah Prancis. Tapi hubungan benar-benar mendapatkan momentum setelah Maroko merdeka dari kolonialisme Prancis Maret 1956.

Prancis mengizinkan orang Yahudi Maroko untuk datang dan pergi, tapi Raja Mohammad V yang memimpin saat itu membatasi hak orang Yahudi untuk bepergian dan melarang emigrasi mereka ke Israel.

Maroko menyatakan, Zionisme sebagai kejahatan pada 1959. Raja percaya, seperti halnya penguasa Arab lainnya, siapa pun yang pindah ke Israel tidak hanya akan memperkuat negara Yahudi, tetapi mereka dapat bertempur melawan saudara-saudara Arab mereka, termasuk Maroko.

Mossad berusaha menemukan jalan keluar dari kebijakan raja ini. Mereka memobilisasi tim mata-mata Israel, banyak dari mereka Yahudi Maroko, semuanya penutur bahasa Prancis dan Arab.

Tugasnya  satu, menemukan cara-cara mengekstraksi 150.000 orang Yahudi Maroko yang tersisa di kerajaan itu, supaya bisa dipindahkan ke Israel.

Mossad Jalankan Operasi Penyelundupan Manusia

Tim itu disebut Misgeret (Kerangka),  dan bertanggung jawab tidak hanya atas imigrasi ilegal ke Israel tetapi juga mengorganisir unit untuk membela komunitas Yahudi dari ancaman dan gangguan dari mayoritas Muslim Arab yang semakin memusuhi.

Unit pertahanan diri itu dipersenjatai dengan senjata. Shmuel Toledano, seorang agen lama Mossad, ditugaskan untuk operasi tersebut, yang berlangsung selama lima tahun.

Operasi Misgeret mengatur taksi dan truk untuk membawa orang Yahudi keluar dari Maroko. Jika perlu, para agen tersebut membayar suap kepada semua petugas berseragam di sepanjang jalan.

Rute favorit keluar adalah melalui Tangier, yang pada waktu itu merupakan kota internasional, dan dari pelabuhannya menggunakan kapal laut langsung ke Israel.

Belakangan, dua kota di pesisir Maroko yang tetap di bawah kendali Spanyol, Ceuta dan Melilla, juga digunakan sebagai basis untuk proyek tersebut.

Untuk menggunakan pulau-pulau teritorial tersebut, Mossad mendapatkan kerja sama penuh dari penguasa fasis Spanyol, Jenderal Francisco Franco.

Franco, diyakini Mossad, bertindak atas dasar rasa bersalah atas hubungannya dengan Hitler (termasuk menyerahkan daftar terperinci orang-orang Yahudi Spanyol), dan bahkan, beberapa orang berpikir, pengusiran orang Yahudi oleh Spanyol pada 1492.

Mossad membeli bekas kamp tentara yang terletak di koloni Inggris di Gibraltar, di pantai selatan Spanyol. Lapangan dan barak diubah menjadi fasilitas transfer bagi orang-orang Yahudi yang keluar dari Maroko.

Sebuah tragedi akhirnya mengubah sifat operasi. Pada 10 Januari 1961, sebuah perahu nelayan bernama "Egoz" (Pisces), penuh pengungsi Yahudi Maroko, terbalik dalam badai antara pantai Maroko dan Gibraltar.

Sebanyak 42 pria, wanita dan anak-anak tenggelam, bersama dengan seorang operator radio Mossad.  Bencana tersebut menimbulkan simpati di luar negeri, tetapi mengungkap operasi rahasia Mossad, dan itu membuat marah pihak berwenang Maroko.

Seluruh operasi berisiko tetapi. Untungnya bagi Israel, pada Maret 1961 Mohammad V meninggal, dan digantikan putranya, Hassan II.

Raja baru berusaha meningkatkan hubungan dengan AS dan dibujuk Komite Distribusi Gabungan Yahudi Amerika dan Lembaga Bantuan Imigran Ibrani.

Ini dua organisasi kemanusiaan Yahudi AS yang besar. Mereka meyakinkan Raja Hassan II, akan lebih baik jika dia membiarkan orang-orang Yahudi di kerajaannya pergi bebas menuju Israel.

Sebagai imbalannya, Joint dan HIAS membayar suap kepada penguasa baru dan pejabat seniornya, yang secara efektif merupakan pajak dari setiap orang Yahudi yang diizinkan keluar, tetapi disamarkan sebagai "kompensasi".

Didukung sumbangan Yahudi AS, kedua kelompok itu membayar hampir $ 50 juta sebagai pelicin agar sekitar 60.000 orang Yahudi Maroko bisa meninggalkan kerajaan itu.

Fase baru proyek imigrasi dimulai, yang disebut "Yakhin", diambil dari nama salah satu pilar yang menopang Kuil Sulaiman.

Sekali lagi, itu dijalankan Mossad. Dengan cara ini, 80.000 orang Yahudi lainnya membuat aliya (pulang kampung) ke Israel antara 1961 dan 1967.

Komunitas kecil Yahudi yang tersisa di Maroko telah berfungsi sejak saat itu sebagai jembatan untuk hubungan Israel-Maroko, terutama selama hari-hari badai dan krisis.

Proyek "Misgeret", yang menggabungkan imigrasi dengan pembelaan diri komunal dan suap, akan menjadi model untuk operasi kolaboratif dan klandestin di masa depan.

Mossad jadi motor penggerak utama pemindahan warga Yahudi dari Argentina ke Irak, Eropa Barat, dan kemudian Yaman dan Ethiopia.

Operasi Rahasia Pembunuhan Aktivis Maroko di Prancis

Mossad Kidon
Mossad Kidon (grid.id)

Pemerintahan Hassan II dianggap sebagai era keemasan hubungan rahasia antara kedua negara, hubungan yang dikembangkan Mossad dan mitranya dari Maroko.

Dua tokoh pentingnya Jenderal Mohamed Oufkir dan Kolonel Ahmed Dlimi. Kedua perwira tersebut nantinya akan dibunuh atas perintah raja, yang menuduh mereka merencanakan untuk melawannya.

Duo intelijen Maroko mengizinkan Mossad membuka stasiun di negara itu; itu terletak di sebuah vila di ibu kota, Rabat, dan diawaki agen berpengalaman, di antaranya Yosef Porat dan Dov Ashdot.

Ketika Maroko menjadi tuan rumah KTT Liga Arab kedua pada 1965, dinas keamanannya memutuskan mengganggu kamar hotel Casablanca dan ruang konferensi semua pemimpin Arab, mulai dari raja, presiden dan perdana menteri hingga Kepala Staf militer mereka.

Meskipun ini mungkin praktik yang relatif standar untuk layanan keamanan mana pun di seluruh dunia, tindakan Maroko juga dipicu ketidakpercayaan beberapa saudara Liga Arabnya, dan didorong CIA, yang memiliki hubungan baik dengan Raja Hassan.

Tetapi yang benar-benar tidak biasa adalah keterlibatan negara yang secara resmi bermusuhan dalam operasi penyadapan: Israel.

Menurut laporan asing, agen Mossad juga ada di sana, membantu rekan lokalnya dalam operasi penyadapan dan berbagi informasi.

Menurut laporan ini, Maroko membantu agen Mossad yang ditanam di negara-negara Arab yang bermusuhan seperti Mesir, musuh bebuyutan Israel.

Tetapi Mossad segera menyadari di dunia intelijen, tidak ada makan siang gratis. Orang Maroko mengharapkan kompensasi, yang bisa menghancurkan usaha puluhan tahun membangun aliansi rahasia Israel-Maroko.

Oufkir dan Dlimi meminta ketua Mossad Meir Amit pada 1965 untuk membunuh Mehdi Ben Barka, seorang pemimpin oposisi Maroko yang kharismatik dan lawan kuat dari Hassan II.

Amit berkonsultasi dengan Perdana Menteri Levi Eshkol. Ia beprikir itu permintaan yang tidak biasa: menjadi tentara bayaran Maroko untuk pembunuhan politik dalam negeri.

Eshkol memveto permintaan tersebut, tetapi mengizinkan Mossad untuk membantu Maroko menemukan keberadaan Ben Barka.

"Saya terkejut betapa mudahnya bagi kami," kata Rafi Eitan, yang saat itu bertugas sebagai Kepala Operasi Mossad di Eropa, beberapa tahun lalu (Eitan meninggal pada 2019).

"Orang Maroko memberi tahu kami Ben Barka berada di Jenewa. Saya bertanya kepada salah satu pembantu kami dan dia menemukan alamatnya di buku telepon local," katanya.

Agen Maroko, dibantu mantan polisi Prancis dan agen keamanan yang menyamar sebagai kru produksi film, membujuk Ben Barka ke Café Lippi di Paris dan menculiknya di siang hari bolong.

Dua kontak Maroko terdekat Mossad, Oufkir dan Dlimi, secara pribadi menginterogasi dan menyiksa Bin Baraka sampai mati.

Tidak jelas apakah mereka bermaksud membunuhnya. Dlimi panik, dan bergegas meminta bantuan lain dari Eitan: membantu membuang mayatnya.

Menurut laporan asing, Eitan membuka peta, menunjuk ke kawasan hutan hijau di ibu kota Prancis, Bois de Boulogne.

Ia menyuruh mereka membeli sekarung asam, membungkus tubuh di dalamnya dan menguburnya di sana.

Tubuh Ben Barka tidak pernah ditemukan, tetapi pembunuhan tersebut menyebabkan badai diplomatik dan politik di Prancis, Maroko, dan Israel.

Prancis Ancam Tutup Stasiun Mossad di Paris

Ilustrasi.
Ilustrasi. (montase : pinterest)

Presiden Prancis Charles de Gaulle menuntut penjelasan dari Israel, dan mengancam akan menutup stasiun Mossad di Paris, yang saat itu menjadi pusat utama operasi Eropa.

Di Israel, komisi penyelidikan dibentuk untuk menjawab pertanyaan kunci: siapa yang memberi perintah untuk berpartisipasi dalam plot tersebut.

Kepala Mossad Amit dan PM Eshkol menjelaskan Israel hanya terlibat secara tidak langsung dalam pembunuhan itu, tetapi dunia menolak untuk menerima cerita mereka.

Permintaan Maroko yang menentukan itu akan menjadi preseden bagaimana Mossad merespon dinas keamanan lainnya yang meminta bantuan untuk menyingkirkan lawan politik mereka.

Sejak bencana Ben Barka, Mossad selalu menolak permintaan tersebut. Dua tahun kemudian, Israel meraih kemenangan cepat dalam Perang Enam Hari 1967.

Gengsi Israel sedang meningkat, dan itu membantu meningkatkan hubungan dengan Maroko. Kelebihan perang Israel, tank dan artileri dari pabrikan Prancis, dijual ke tentara Maroko.

Namun hubungan yang nyaman tidak mencegah Raja Hassan II mengirimkan pasukannya untuk membantu upaya perang Mesir-Suriah melawan Israel pada 1973.

Sebagai pembalasan, Kepala Mossad saat itu, Yitzhak Hofi, memerintahkan penghentian kerja sama dengan Maroko. Pertengkaran itu tidak berlangsung lama.

Pada 1977, Raja Hassan menjadi tuan rumah pertemuan rahasia antara Mossad dan Mesir yang membuka jalan menuju pidato bersejarah Anwar Sadat ke Knesset.

Perjanjian damai Mesir-Israel menjadi langkah awal perubahan dunia Arab menyikapi Israel. Hubungan Israel-Maroko segera kembali ke jalurnya di segala bidang.

Peralatan militer Israel, penasihat, dan ahli mengajarkan taktik anti-pemberontak kepada rekan-rekan Maroko mereka untuk melawan Front Polisario.

Ini kelompok yang berjuang untuk kemerdekaan di Sahara barat, bekas koloni Spanyol yang dianeksasi Maroko pada 1976.

Menyusul proses perdamaian antara Israel dan PLO dan Kesepakatan Oslo, dan mengikuti jejak negara Arab dan Muslim lainnya, Maroko membuka misi diplomatik tingkat rendah di Tel Aviv.

Setelah intifada kedua, Raja Mohammed VI, yang mewarisi mahkota dari almarhum ayahnya Hassan, memerintahkan misi ditutup pada 2000.

Tetapi hubungan informal selalu ada. Diperkirakan jutaan orang Israel dapat mengklaim keturunan Maroko, dan mereka serta orang Israel lainnya telah diizinkan terbang dan melakukan perjalanan keliling Maroko selama bertahun-tahun.

Perdagangan bilateral terus meningkat. Hubungan intelijen dan militer kedua negara lebih baik dari sebelumnya.

Pengumuman normalisasi baru-baru ini meresmikan, secara publik, apa yang telah menjadi hubungan klandestin yang lama antara Israel dan Maroko, ditanam dan dibudidayakan oleh Mossad.

Yossi Melman menyebut ini contoh klasik cara kerja Mossad yang bertindak sebagai lengan kebijakan luar negeri bayangan Israel.

Tidak mengherankan jika hubungan dengan negara lain, seperti Oman, Arab Saudi, dan Indonesia, dinas rahasia Israel ikut campur dalam prosesnya.(Tribunnews.com/Haaretz/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas