Pengungsi Rohingya Tak Merasa Prihatin pada Aung San Suu Kyi Terkait Kudeta Militer di Myanmar
Pengungsi Rohingya mengutuk aksi kudeta militer di Myanmar. Namun, tak merasa prihatin pada Aung San Suu Kyi.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Pengungsi Rohingya di Bangladesh mengutuk kudeta militer di Myanmar namun tak merasa kasihan dengan penahanan Aung San Suu Kyi.
Dilansir Al Jazeera, mereka mengatakan 'tidak merasa prihatin' atas lengsernya pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Pemimpin komunitas Rohingya, Mohammad Yunus Arman, mengatakan militer Myanmar telah menghabisi keluarga para pengungsi di negara bagian Rakhine saat Aung San Suu Kyi berkuasa.
"Dia tetap diam tentang itu. Dia bahkan tidak mengucapkan kata 'Rohingya'."
"Dulu kami biasa berdoa untuk kesuksesannya dan memperlakukannya seperti ratu kami. Tapi setelah 2017, kami menyadari karakter aslinya," ujarnya, di kamp pengungsi Kutupalong yang luas di distrik Cox's Bazar Bangladesh kepada Al Jazeera.
Baca juga: China Dituduh Dalangi Kudeta Militer di Myanmar
Baca juga: Polisi Myanmar Dakwa Suu Kyi Langgar UU Ekspor-Impor
Pada Senin (1/2/2021), militer Myanmar merebut kekuasaan dan melakukan kudeta di bawah Jenderal Min Aung Hlaing.
Pemimpin de facto sekaligus politisi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi, bersama Presiden Win Myint dan para pemimpin sipil lain ditangkap para tentara.
Setelah itu, militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun.
"Kami tidak merasa kasihan karena dia (Suu Kyi) digulingkan dari kekuasaan sekarang," kata Arman.
Distrik Cox's Bazar di Bangladesh selatan adalah rumah bagi lebih dari satu juta pengungsi Rohingya.
Tempat ini merupakan pemukiman pengungsi terbesar di dunia.
Diketahui warga Rohingya melarikan diri untuk mencari suaka pasca tindakan keras militer pada 2017 di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Bahkan PBB mengartikan tindakan militer itu sebagai 'niat genosida'.
"Selama empat tahun terakhir, kami telah membicarakan tentang kembali dengan selamat ke tanah air kami di Myanmar, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti," kata Arman.