Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wakil Presiden Pemerintah Sipil Myanmar Bersumpah Kejar 'Revolusi' untuk Gulingkan Junta Militer

Lima orang ditembak mati dan beberapa terluka ketika polisi menembaki aksi protes di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Wakil Presiden Pemerintah Sipil Myanmar Bersumpah Kejar 'Revolusi' untuk Gulingkan Junta Militer
Tribunnews/Jeprima
Massa menggelar aksi solidaritas untuk Myanmar di depan Gedung ASEAN, Jakarta Selatan, Jumat (12/3/2021). Dalam aksi solidaritas tersebut massa mengutuk keras terjadinya kudeta militer dan mendesak penegakan demokrasi serta perlindungan HAM di Myanmar. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Penjabat pemerintahan sipil paralel Myanmar, yang ditunjuk oleh anggota parlemen yang digulingkan setelah kudeta militer 1 Februari, Mahn Win Khaing Than  bersumpah akan mengejar "revolusi" untuk menggulingkan junta militer.

Mahn Win Khaing Than, yang sedang dalam pelarian bersama dengan sebagian besar pejabat senior dari Partai Liga Nasional untuk  Demokrasi (NLD), berpidato di depan publik melalui Facebook.

Seperti diansir Reuters, Minggu (14/3/2021), ia mengatakan, "Ini adalah momen tergelap bangsa dan saat fajar sudah dekat."

Mahn Win Khaing Than ditunjuk minggu lalu sebagai wakil presiden sementara oleh perwakilan anggota parlemen Myanmar yang digulingkan, Komite Untuk Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), yang mendorong pengakuan sebagai pemerintah yang sah.

Pemerintahan Sipil Pararl telah mengumumkan niatnya untuk menciptakan demokrasi federal dan para pemimpin telah bertemu perwakilan organisasi etnis bersenjata terbesar Myanmar, yang sudah mengendalikan wilayah yang luas di seluruh negeri. Beberapa telah berjanji dukungan mereka.

"Dalam rangka membentuk demokrasi federal, yang mendapat dukungan dari semua etnis, yang telah menderita berbagai jenis penindasan dari kediktatoran selama beberapa dekade. Revolusi ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyatukan upaya kita," kata Mahn Win Khaing Than.

Baca juga: Lagi, 12 Orang Tewas Saat Polisi Tembaki Demonstran Anti-Kudeta di Myanmar

Berita Rekomendasi

Pidatonya disambut ribuan komentar yang menyetujui dari banyak orang yang mengikutinya di Facebook.

"Pertahankan Pak Presiden! Anda adalah harapan kami. Kami semua bersamamu," tulis salah satu pengguna, Ko Shan.

Junta militer, yang tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar pada hari Sabtu, telah menyatakan CRPH ilegal dan mengatakan siapa pun yang terlibat di dalamnya  dapat didakwa dengan pasal pengkhianatan, yang sanksinya hukuman mati.

Sementara CRPH telah menyatakan junta militer sebagai "organisasi teroris".

 Mahn Win Khaing Than mengatakan CRPH akan "berusaha untuk mengesahkan undang-undang yang diperlukan sehingga rakyat memiliki hak untuk membela diri" dan bahwa kebijakan publik akan ditangani oleh "tim administrasi rakyat sementara".

Aparat keamanan Myanmar menewaskan sedikitnya 12 orang, saksi dan media melaporkannya, Minggu (14/3/2021).

Baca juga: Sedikitnya 70 Orang Tewas Sejak Kudeta Militer Berjalan di Myanmar

Lima orang ditembak mati dan beberapa terluka ketika polisi menembaki aksi protes di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, kata para saksi mata kepada Reuters.

Sementara korban yang lain tewas di kota pusat Pyay dan dua tewas dalam penembakan polisi di ibukota komersial Yangon, sebelumnya tiga orng juga tewas, laporan media setempat.

"Mereka bertindak seperti berada di zona perang, menghadapi orang-orang yang tidak bersenjata," kata aktivis Myat Thu yang berbasis di Mandalay.

Dia mengatakan mereka yang tewas termasuk anak berusia 13 tahun.

Si Thu Tun, pengunjuk rasa lainnya, mengatakan dia melihat dua orang ditembak, termasuk seorang biksu Buddha.

"Salah satu dari mereka dipukul di tulang kemaluan, satu lagi ditembak mati dengan sangat keji," katanya.

Di Pyay, seorang saksi mengatakan pasukan keamanan awalnya menghentikan ambulans untuk mencapai mereka yang terluka, yang menyebabkan satu orang tewas.

“Seorang sopir truk di Chauk, sebuah kota di Wilayah Magwe, juga tewas setelah ditembak di dada oleh polisi,” kata seorang teman.

Seorang juru bicara junta militer tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters yang meminta tanggapan atas insiden teranyar.

Siaran berita malam MEDIA MRTV yang dikelola Junta militer melabeli para demonstran sebagai "penjahat" tetapi tidak menguraikannya lebih lanjut.

Lebih dari 70 orang telah tewas di Myanmar dalam gelombang aksi protes warga menentang kudeta militer, kata kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.

Jatuhnya korban jiwa ini terjadi ketika para pemimpin Amerika Serikat, India, Australia dan Jepang bersumpah untuk bekerja sama memulihkan demokrasi di negara Asia Tenggara termasuk Myanmar.

Sebelumnya pada Jumat (12/3/2021) dilaporkan setidaknya lima demonstran tewas di kota Myaing, Myanmar tengah pada Kamis (11/3/2021).

Saksi, yang berada di rumah sakit Myaing, mengatakan dokter telah menyatakan lima orang meninggal.

“Satu orang tidak sadarkan diri dan tidak jelas apakah dia masih hidup”, kata saksi.

Media domestik mengatakan enam orang tewas.

Baca juga: Mobil Seruduk Minimarket, Bocah 6 Tahun Tewas, Ternyata Sopirnya Masih di Bawah Umur

Dilaporkan pula satu demonstran tewas pada Kamis (11/3/2021) di distrik Dagon, Yangon.

Sejumlah orang menyatakan aksi protes anti-junta militer terhadap kudeta 1 Februari berlangsung di lokasi tersebut.

Foto-foto yang diposting di Facebook menunjukkan seorang pria tergeletak di jalan dengan darah mengalir keluar dari luka-luka di kepala. 

Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International menyebut militer Myanmar menggunakan senjata perang dan kekuatan mematikan untuk melumpuhkan demonstran anti kudeta.

Hal itu disampaikan Amnesty International pada Kamis (11/3/2021).

Amnesty mengatakan telah memverifikasi lebih dari 50 video dari tindakan brutal yang dilakukan militer Myanmar terhadap demonstran.

Berdasarkan laporan PBB,  pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 60 demonstran. Dikatakan banyak pembunuhan yang didokumentasikan berupa eksekusi di luar hukum.

Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta untuk berkomentar.

Junta militer yang berkuasa pada 1 Februari, menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu aksi protes harian di seluruh Myanmar yang kadang-kadang menarik ratusan ribu orang ke jalanan.

Amnesty menuduh militer menggunakan senjata yang cocok di medan perang untuk membunuh demonstran.

"Ini bukan tindakan kewalahan, perwira individu membuat keputusan yang buruk," kata Joanne Mariner, Direktur Respons Krisis di Amnesty International.

"Ini adalah komandan yang tidak bertobat yang sudah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan mereka dan metode pembunuhan di tempat terbuka."

Amnesty mengatakan senjata yang digunakan termasuk senapan sniper dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan sub-mesin.

Amnesty menyerukan untuk berhenti melakukan pembunuhan dan  bebaskan tahanan. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan hampir 2.000 orang telah ditahan sejak kudeta.

 Dalam membenarkan kudeta, junta militer mengutip dugaan kecurangan dalam pemilu November yang telah dimenangkan partai Suu Kyi. Tuduhannya telah dibantah  komisi pemilihan umum.

Pengakuan Polisi Myanmar Yang Lari Ke India: Perintah Junta 'Tembak Sampai Mereka Mati'

Sejumlah personil kepolisian Myanmar mengaku diperintah untuk menembak mati demonstran anti kudeta militer. Namun mereka menolak untuk melakukannya dan memutuskan lari ke India.

Tha Peng adalah satu diantara personil kepolsian yang diperintahkan untuk menembaki demonstran dengan senapan mesin untuk membubarkan aksi demonstran di kota Khampat Myanmar pada 27 Februari. Tetapi kopral polisi itu menolak perintah itu.

"Keesokan harinya, seorang petugas menelepon untuk bertanya apakah saya akan menembak," katanya.

Namun pria berusia 27 tahun itu menolak lagi, dan kemudian mengundurkan diri dari kesatuan.

Pada 1 Maret, dia mengatakan dirinya meninggalkan rumah dan keluarganya di belakang di Khampat.

Ia pun melakukan perjalanan selama tiga hari, lebih banyak pada malam hari untuk menghindari deteksi, sebelum menyeberang ke negara bagian Mizoram timur laut, di India.

"Saya tidak punya pilihan," kata Tha Peng kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada hari Selasa (9/3/2021), berbicara melalui penerjemah.

Dia hanya memberikan sebagian dari namanya untuk melindungi identitasnya. Reuters melihat kartu polisi dan KTP miliknya yang mengkonfirmasi nama itu.

Tha Peng mengatakan dia dan enam rekannya semua tidak mematuhi perintah 27 Februari dari seorang perwira tinggi, yang tidak ia sebutkan identitasnya.

Deskripsi peristiwa mirip dengan yang diberikan kepada polisi di Mizoram pada 1 Maret oleh kopral polisi Myanmar lainnya dan tiga polisi yang menyeberang ke India, menurut dokumen rahasia polisi yang dilihat oleh Reuters.

 Dokumen itu ditulis oleh pejabat polisi Mizoram dan memberikan rincian biografi dari empat individu dan akun mereka tentang mengapa mereka melarikan diri. Itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

"Ketika gerakan pembangkangan Sipil mendapatkan momentum dan aksi protes yang diadakan oleh demonstran anti-kudeta di tempat yang berbeda kami diperintahkan untuk menembaki para demonstran," kata mereka dalam pernyataan bersama kepada polisi Mizoram.
"Dalam skenario seperti itu, kita tidak memiliki keberanian untuk menembaki masyarakat kita sendiri yang merupakan demonstran damai," kata mereka.

Junta militer Myanmar, yang menggelar kudeta pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah sipil negara itu, tidak menanggapi permintaan Reuters untuk berkomentar.

Junta mengatakan pihaknya bertindak dengan sangat menahan diri dalam menangani aksi demonstrasi.

Tha Peng adalah salah satu kasus pertama yang dilaporkan oleh media polisi yang melarikan diri dari Myanmar setelah tidak mematuhi perintah dari pasukan keamanan junta militer.

Aksi protes harian terhadap pemerintahan militer sedang digelar  di seluruh negeri dan pasukan keamanan telah bertindak brutal.

 Lebih dari 60 demonstran telah tewas dan lebih dari 1.800 ditahan, kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, satu kelompok advokasi..

Di antara para tahanan ada nama penerima Nobel Aung San Suu Kyi, yang memimpin pemerintahan sipil.(Reuters/AFP/AP/Channel New Asia)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas