Pabrik China Dibakar karena Dianggap Dukung Kudeta Myanmar, Lebih dari 30 Orang Tewas
Pasukan keamanan Myanmar menewaskan sedikitnya 22 pengunjuk rasa anti-kudeta di Kota Hlaingthaya, areal industri di Myanmar pada Minggu (14/3/2021).
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Pasukan keamanan Myanmar menewaskan sedikitnya 22 pengunjuk rasa anti-kudeta di Kota Hlaingthaya, barat Yangon, areal industri di Myanmar pada Minggu (14/3/2021).
Kelompok advokasi mengatakan, insiden itu terjadi setelah pabrik-pabrik yang didanai China dibakar.
Selain itu, ada 16 pengunjuk rasa yang tewas di lokasi lainnya, lapor Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), dikutip dari Reuters.
Total ada 30 lebih demonstran tewas akibat tindakan keras aparat, menjadikannya hari berdarah sejak kudeta pada 1 Febuari lalu.
Kedutaan Besar China mengatakan banyak karyawan pabrik asal China yang terluka dan terperangkap dalam insiden pembakaran.
Baca juga: Fadli Zon: Situasi Memanas, BKSAP DPR RI Kutuk Rezim Kudeta Myanmar
Baca juga: Duta Besar Myanmar di PBB Desak Komunitas Internasional Tingkatkan Tekanan kepada Junta Militer
Diketahui, China dipandang sebagai pendukung junta militer untuk menguasai dan mengambil alih Myanmar.
Kedutaan Besar China menilai insiden itu "sangat parah".
"China mendesak Myanmar untuk mengambil langkah efektif lebih lanjut untuk menghentikan semua tindakan kekerasan, menghukum pelaku sesuai dengan hukum dan memastikan keselamatan jiwa dan properti perusahaan dan personel China di Myanmar," pernyataan Kedubes China.
Halaman Facebook Kedubes China dihujani komentar negatif dalam bahasa Myanmar dan lebih dari 29.000 netizen menggunakan emoji wajah tertawa.
Pemimpin protes, Ei Thinzar Maung, mengatakan di Facebook hanya dua pabrik yang dibakar untuk saat ini.
"Jika Anda ingin berbisnis di Myanmar secara stabil, hormati orang Myanmar," katanya.
"Fighting Hlaingthaya, kami bangga padamu!!"
Tidak jelas siapa yang melakukan aksi itu di pabrik garmen tersebut dan tidak ada kelompok yang mengakui.
Diketahui sentimen anti-China mulai meningkat sejak kudeta pada awal Februari lalu.