Media Iran Sebut Putra Mahkota Saudi Terlibat Plot Kudeta di Yordania
Pangeran Hamzah sempat dikenai tahanan rumah, pengawalnya dilucuti, para pembantu dekatnya ditangkap aparat keamanan Yordania yang loyal pada raja.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, TEHRAN – Kantor berita Iran, Fars News Agency (FNA), Senin 919/4/2021) melaporkan putra mahkota Saudi telah bersyarat setuju bekerja sama dengan Israel dalam plot kudeta gagal di Yordania baru-baru ini.
Pangeran Mohammad bin Salman mendukung upaya penggulingan Raja Yordania Abdullah II, dengan imbalan hak pengelolaan atas kota suci Palestina yang selama ini ada di tangan Yordania.
Menurut laporan media yang dikutip FNA, kudeta baru-baru ini terhadap Raja Abdullah II dari Yordania adalah plot multilateral dan kudeta besar di semua skala yang dikembangkan AS, Israel, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Seorang pejabat Yordania menekankan kudeta tersebut direncanakan oleh Israel karena Eaja Abdullah II yang memimpin Yordania menentang rencana perdamaian AS-Israel yang disebut kesepakatan abad ini di era Presiden Trump.
Menurut pejabat tersebut, sikap Yordania mengangkat kekhawatiran ini di Israel masalah tersebut bisa menjadi lampu hijau untuk menghasut orang-orang Palestina yang tinggal di Yordania dan sukunya untuk menentang rencana aksi era Trump itu.
Baca juga: Yordania Resmi Tuduh Pangeran Hamzah Hendak Gulingkan Raja Abdullah II
Baca juga: Pangeran Hamzah Akhirnya Tulis Surat Ikrar Setia Pada Raja Yordania Abdullah II
Baca juga: Raja Yordania dan Saudara Tirinya Tampil di Publik Pertama Kalinya Sejak Isu Keretakan Hubungan
"Untuk alasan ini, pejabat Israel meminta bantuan Riyadh," kata sumber media yang disitir FNA. Plot kudeta di Yordania disebut melibatkan Pangeran Hamzah, yang tadinya ditunjuk sebagai putra mahkota atau pengganti raja Abdullah II jika mangkat.
Pangeran Hamzah sempat dikenai tahanan rumah, pengawalnya dilucuti, dan para pembantu dekatnya ditangkap aparat keamanan Yordania yang loyal pada raja.
Raja Abdullah II membahas keretakan publik yang jarang terjadi di dalam keluarga kerajaan untuk pertama kalinya, dengan mengatakan hasutan yang menyebabkannya rasa sakit dan amarah telah terkubur.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan kepada rakyat Yordania, raja berbicara tentang krisis politik terburuk di Yordania dalam beberapa dekade, yang dipicu dugaan persekongkolan yang melibatkan saudara tirinya Pangeran Hamzah.
Krisis dalam keluarga kerajaan meletus selama akhir pekan, ketika Kepala Staf Militer Yordania mengunjungi Pangeran Hamzah dan memperingatkannya untuk berhenti menghadiri pertemuan dengan para pengkritik pemerintah.
Segalanya dengan cepat meningkat jadi konflik terbuka saat Pangeran Hamzah menuduh pihak keamanan mengancamnya dan memerintahkan jenderal untuk meninggalkan rumahnya.
Mantan putra mahkota tersebut menyatakan dia kemudian ditahan sebagai tahanan rumah, dan pihak berwenang menahan 18 orang lainnya, termasuk mantan pejabat senior.
Pemerintah menuduh Hamzah sebagai bagian dari rencana jahat untuk mengguncang negara dengan dukungan asing. Tetapi keesokan harinya, keluarga kerajaan telah menyelesaikan perselisihan tersebut.
"Saya yakinkan Anda, bahwa hasutan telah dihentikan sejak awal," kata Raja Abdullah dalam pidatonya yang dibacakan di televisi pemerintah.
“Tidak ada yang mendekati apa yang saya rasakan, syok, sakit dan marah, sebagai saudara dan wali keluarga Hashemite dan pemimpin dari orang-orang terkasih ini,” tambahnya.
Raja melanjutkan dengan mengatakan Yordania terbiasa menghadapi dan menang atas tantangan.
“Sepanjang sejarah kami, kami telah mengalahkan semua target yang mencoba merusak tanah air, dan kami keluar dari mereka lebih kuat dan lebih bersatu,” lanjutnya.
Ia menambahkan tantangan hari-hari terakhir ini bukanlah yang paling berbahaya bagi stabilitas negara - tapi itu yang paling menyakitkan bagi dirinya.
“Hamzah hari ini bersama keluarganya di istananya di bawah perlindungan saya,” kata Abdullah II.
“Dia telah berkomitmen di hadapan keluarga (Hashemite) untuk mengikuti jalan orang tua dan kakek neneknya, untuk setia pada pesan mereka, dan untuk menempatkan kepentingan Yordania, konstitusinya, dan hukumnya di atas semua pertimbangan lainnya," katanya.
Abdullah menyatakan penyelidikan akan dilakukan sesuai hukum, dan langkah selanjutnya akan diatur oleh kepentingan tanah air dan rakyat tetap setia pada mereka.
Istana Amman sudah bersikeras perselisihan itu diselesaikan di dalam keluarga, tetapi tantangan besar tampak bagi monarki sekutu barat yang telah lama dilihat sebagai kunci utama stabilitas regional.
Negara-negara Arab dan Amerika Serikat dengan cepat menyatakan dukungannya kepada Raja Abdullah.
Awal bulan ini, Presiden AS Joe Biden berbicara dengan Raja Abdullah dan membahas hubungan bilateral yang kuat antara kedua negara.
Presiden mengatakan dia tidak peduli dengan situasi di Yordania.
“Saya menghubunginya (Raja Abdullah) untuk memberitahunya dia punya teman di Amerika. Tetap kuat,” tambah Biden.
Namun, dukungan internasional tidak banyak membantu menutupi masalah domestik yang dihadapi Amman.
Keberadaan Pangeran Hamzah tidak diketahui dan tidak ada tanda-tanda pihak berwenang telah membebaskan 18 tahanan lainnya, termasuk anggota salah satu suku kuat yang secara historis mendukung monarki.
Sementara itu, pihak berwenang telah memberlakukan perintah bungkam atas pelaporan dugaan plot, sebagai tanda sensitivitas bagaimana perselisihan itu dipersepsikan.
Riyadh tidak mengomentari spekulasi keterlibatan Pangeran Mohammad bin Salman di plot kudeta Yordania.(Tribunnews.com/FNA/xna)