Milisi Bersenjata Libya Geruduk Hotel Tempat Dewan Kepresidenan Berkantor
Orang-orang bersenjata itu terlihat pada Jumat (7/5/2021) malam di pintu masuk Hotel Corinthia di jantung ibu kota Tripoli.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, TRIPOLI - Lusinan pria bersenjata melakukan unjuk kekuatan di sebuah hotel yang digunakan sebagai markas besar oleh dewan kepresidenan Libya saat perpecahan dalam bangsa muncul kembali.
Orang-orang bersenjata itu terlihat pada Jumat (7/5/2021) malam di pintu masuk Hotel Corinthia di jantung ibu kota Tripoli. Penampakan mereka muncul di media sosial.
Dikutip Aljazeera, Sabtu (8/5/2021), media setempat melabeli mereka milisi. Juru bicara dewan kepresidenan Najwa Wheba membenarkan orang-orang bersenjata mendatangi markas tempat dewan bertemu.
Dia mengatakan kepada kantor berita LANA Libya tidak ada yang dirugikan, karena dewan tidak bekerja pada Jumat, hari istirahat mingguan di Libya.
Baca juga: Prancis Buka Kembali Kedutaannya di Libya setelah Ditutup 7 Tahun
Baca juga: Erick Prince, Bos Tentara Bayaran Sekutu Donald Trump Jual Senjata ke Libya
Unjuk kekuatan itu terjadi seiring penerapan seruan Dewan Keamanan PBB untuk penarikan semua pasukan asing dan tentara bayaran menghidupkan kembali perpecahan di dalam pemerintah persatuan.
Pada Senin, Menteri Luar Negeri Najla al-Mangoush, yang berasal dari timur, membuat marah banyak orang di Tripoli dan barat dengan seruan agar Turki menarik pasukan yang dikerahkannya selama perang saudara.
Pasukan tersebut secara luas ditempatkan di ibu kota Libya yang kemudian mengalahkan serangan kelompok Khalifa Haftar Juni 2020.
Dia mendapat dukungan dari beberapa negara, terutama Rusia dan Uni Emirat Arab. Insiden Jumat memperlihatkan risiko lanjutan bagi pemerintah persatuan.
Baik Dewan Kepresidenan dan Pemerintah Persatuan Nasional telah menghadapi kritik internal dan tantangan terhadap otoritas mereka.
Di Libya timur, Haftar dan Tentara Nasional Libya (LNA) masih memegang kendali hampir setahun setelah serangan 14 bulan mereka untuk merebut ibu kota runtuh.
Di Tripoli, kelompok bersenjata yang mendorong Haftar kembali dari ibu kota dengan dukungan Turki masih menguasai jalan-jalan.
Tentara bayaran asing tetap bercokol di kedua sisi garis depan yang dijaga ketat, meskipun ada seruan internasional bagi pihak yang bertikai untuk menarik mereka dari negara itu.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri al-Mangoush mengulangi seruan agar semua pejuang asing pergi sambil berdiri di samping Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu yang sedang berkunjung.
Turki mengatakan kehadiran militernya di Libya berbeda dengan pasukan asing lainnya karena diundang oleh pemerintah yang diakui PBB sebelumnya dan tidak akan mundur sampai yang lain melakukannya.
Sebelum hotel diserbu pada Jumat, sebuah kelompok bersenjata di Tripoli mengatakan di media sosial mereka membahas pernyataan al-Mangoush, dan kemudian meminta GNU untuk secara resmi menolak Haftar.
Gencatan senjata Oktober menciptakan pemerintahan gabungan, yang dipimpin Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah dan dewan kepresidenan, sebagai bagian peta jalan PBB untuk pemilihan Desember.
Pada Maret, Dewan Keamanan PBB menyerukan penarikan semua pasukan asing dan tentara bayaran, yang diperkirakan berjumlah 20.000 orang.
Libya jatuh ke dalam kekacauan setelah diktator lama Muammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh dalam pemberontakan yang didukung NATO pada 2011.
Pemerintah persatuan sementara akhirnya terbentuk pada Maret, menggantikan pemerintahan saingan di timur dan barat, dan bertujuan untuk memimpin Libya ke pemilihan umum.
Kepala pemerintah persatuan Libya mengatakan kepada Al Jazeera, dia berharap ribuan tentara bayaran asing akan segera mundur dari negara itu.
Perdana Menteri Libya Abdul Hamid Dbeibah mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera Arabic, setelah diskusi dengan beberapa negara, terdapat tanda-tanda harapan kelompok bersenjata asing akan meninggalkan Libya.
Kehadiran sekitar 20.000 pejuang asing dan tentara bayaran di wilayah Libya dipandang sebagai ancaman bagi transisi yang didukung PBB yang mengarah ke pemilihan 24 Desember.
Dbeibah menambahkan, meskipun 80 persen institusi negara telah bersatu, institusi militer tetap terpecah.
Namun ia menambahkan Komisi Militer Gabungan 5 + 5 sedang bekerja untuk mempersatukan militer.
Komisi tersebut terdiri dari lima perwira militer senior dari Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB di Tripoli dan lima dari saingannya, Tentara Nasional Libya (LNA).
Dbeibah mengatakan pemerintah persatuannya tidak mengoordinasikan masalah dengan Haftar.(Tribunnews/com/Aljazeera/xna)