Pendiri TAPOL Carmel Budiardjo, pejuang HAM dari kasus 1965, Aceh serta Papua, tutup usia
Carmel Budiardjo, pendiri organisasi TAPOL, yang konsisten mengadvokasi dan mengampanyekan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, mulai kasus
Carmel Budiardjo, pegiat hak asasi manusia yang berperan mengadvokasi berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, mulai kasus 1965, Timor Leste, Aceh, serta Papua, tutup usia pada Sabtu (10/07) di London, Inggris.
Twitter TAPOL - organisasi yang didirikan Carmel - dalam cuitannya menyebutkan "Dengan kesedihan besar, kami sampaikan meninggalnya Carmel Budiarjo, pendiri kami, pada Sabtu pagi pukul 09:00."
Semasa hidupnya, Carmel melalui TAPOL - singkatan dari Tahanan Politik - mengampanyekan dan mengadvokasi berbagai dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
"Dia bukan satu-satunya, tetapi dia berperan besar untuk memperjuangkan kemanusiaan di Indonesia. Kesadaran akan adanya pelanggaran HAM di Indonesia, suka-tidak suka, pasti akan melibatkan nama Carmel Budiardjo," ujar Andreas Harsono, pegiat organisasi Human Rights Watch (HRW) Indonesia.
Ketika sebagian tapol 1965 mulai dibebaskan pada 1977 setelah didesak oleh Presiden AS Jimmy Carter, perhatian Carmel terhadap persoalan pelanggaran HAM di Indonesia, makin meluas.
Kemudian TAPOL mendokumentasikan peristiwa Tanjung Priok pada 1984, kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh hingga Timor Leste.
"Juga masalah di Papua," kata Andreas Harsono kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (11/06).
'TAPOL bukan organisasi besar'
Di masa pemerintahan Orde Baru, Carmel dan organisasinya dianggap sebagai pihak yang selalu menghembuskan kabar negatif tentang Indonesia di panggung internasional.
Informasi yang dihimpunnya seringkali bertolak belakang dengan sikap resmi pihak berwenang Indonesia dan belum tentu boleh diwartakan di dalam negeri.
Namun Ketua Dewan TAPOL, Steve Aliston, mengatakan gambaran yang dibangun oleh pihak berwenang dan sebagian kalangan di Indonesia tentang Tapol "melenceng dari fakta".
"Mereka tidak tahu TAPOL menempati setengah kamar di rumah tingkat dua dengan dua kamar tidur di London selatan," ungkap Aliston, sambil terkekeh, dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia di London, Rohmatin Bonasir, pada Sabtu (12/06).
Ia kemudian mencontohkan peristiwa pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kepada mantan Presiden Timor Leste Ramos Horta dan Uskup Ximenes Belo pada tahun 1996.
Ketika itu, Aliston mengingat, dirinya diwawancara oleh televisi BBC World Service atau CNN, sesaat setelah giliran Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas.
"Dalam proses interview itu, ia [Ali Alatas] menyebut ada organisasi-organisasi internasional dengan sumber daya besar, mencoreng nama Indonesia.
"Dan tentu, salah satu organisasi yang ia rujuk jelas-jelas adalah TAPOL," katanya.
"Itu mengingatkan pengalaman saya ketika tinggal di Indonesia dulu. Ada gambaran yang dibesar-besarkan oleh para pembuat kebijakan, kalangan politikus di Indonesia bahwa organisasi TAPOL sejajar dengan Chatham House [lembaga pemikir berpengaruh di London] atau sebuah lembaga pemikir kebijakan luar negeri di Washington.
Padahal, "TAPOL adalah Carmel dalam konteks itu. TAPOL bukan organisasi yang besar," tambahnya.
Jika sejak awalnya TAPOL mencetak buletin, selama 10 tahun belakangan organisasi itu beralih ke platform online.
Advokasi kasus Tapol '65, Timor Timur, Aceh, dan Papua
Dalam mengampanyekan permasalahan pelanggaran HAM semasa kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh, mantan Ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak menyebut Carmel mampu menghimpun informasi dari berbagai sumber, sehingga datanya layak dipercaya.
Otto mengaku menyaksikan sendiri ketika Carmel "membongkar semua dokumennya", di antaranya surat-surat dari berbagai sumber terkait masalah terutama di Aceh.
"Jadi sangat luas pengetahuannya, informasinya, sehingga memudahkan beliau melakukan validasi informasi yang beliau peroleh. Itu luar biasa," ungkap Otto kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/06).
Sementara, Joaquim da Fonseca, mantan Duta Besar Timor Leste untuk Inggris dan dahulu terlibat gerakan perlawanan terhadap pendudukan Indonesia, menyebut Carmel sebagai "jendela" dunia untuk melihat Timor Leste.
"Ibu Carmel itu menyediakan sebuah jendela, di mana orang-orang dari luar dapat melihat ke dalam, untuk mengamati keadaan di Timor Leste," kata Joaquim kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (11/06).
Dia juga menyediakan sebuah corong bagi orang Timor Leste tanpa harus berbicara sehingga suaranya bisa didengar, tambahnya.
Adapun aktivis kemanusiaan, Ita Fatia Nadia, yang bekerja sama dengan Carmel Budiardjo dalam membantu dan mendokumentasikan tahanan politik 1965, menganggap Carmel sebagai panutannya dalam berkomitmen.
"Jadi komitmen dan konsistensi ibu Carmel terhadap tapol 1965 itu selalu hidup dan kita selalu diingatkan," kata Ita Nadia kepada BBC News Indonesia.
'Masih aktif hingga tiga tahun lalu'
Menurut Ketua Dewan Tapol, Steve Alston, Carmel masih cukup aktif hingga sekitar tiga tahun lalu, meski pendengarannya mulai bermasalah.
"Menghadiri pertemuan dan berpartisipasi dalam pertemuan semakin sulit baginya meskipun ia memakai berbagai alat bantu pendengaran.
"Jadi ia menulis artikel dan menerjemahkan bahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris sampai sekitar tiga tahun lalu," kata pria yang telah mengenal Carmel sejak tahun 1980-an.
Kecuali pendengarannya, Carmel relatif cukup mandiri hingga usia 95 tahun dan akhirnya pindah ke panti jompo di pusat kota London pada 2020.
Carmel pernah ditahan tanpa diadili karena dituduh anggota PKI
Bersama organisasinya itu, perempuan kelahiran 1925 ini menyuarakan tuntutan pembebasan para tahanan politik yang masih berada di penjara.
Namanya mulai dikenal setelah terlibat mengadvokasi nasib tahanan politik 1965 yang dibuang ke Pulau Buru, di penjara atau kamp penempatan, tanpa diadili karena dicurigai terlibat dalam Partai Komunis Indonesia.
Dia sendiri pernah ditahan selama tiga tahun tanpa diadili pada 1965 setelah peristiwa G30S, karena dituduh anggota Partai Komunis Indonesia. Tuduhan yang berulangkali dia bantah.
Pada 1952, dia menikah dengan seorang pejabat pemerintah Indonesia, Suwondo Budiardjo, yang dikenalnya di Praha, dan kemudian menetap di Indonesia.
Sempat bekerja di Kantor Berita Antara sebagai penerjemah dan sebagai peneliti ekonomi di Departemen Luar Negeri Indonesia di Jakarta antara 1955-1965.
Tapi Carmel dipecat dari Departemen Luar Negeri tahun 1965 setelah militer di bawah pimpinan Jendral Suharto berkuasa.
Tiga tahun kemudian, suaminya dipenjarakan oleh Pemerintah Orde Baru karena dituduh terlibat gerakan komunis di Indonesia.
Pada tahun 1971, Carmel dibebaskan dari penjara dan diusir dari Indonesia. Setelah Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI, Carmel baru mendapat izin masuk ke Indonesia tahun 2000.
Pengalaman pribadinya saat di penjara dituangkan dalam buku berjudul ""Bertahan Hidup di Gulag Indonesia" terbitan tahun 1996.
Carmel pernah menerima penghargaan dari lembaga Swedia "The Right Livelihood Award" yang dipandang sebagai Hadiah Nobel alternatif.
'Harapan kami Tapol tidak relevan lagi, supaya Indonesia berjalan seperti negara demokratis yang biasa' — Wawancara BBC Indonesia dengan Carmel Budiardjo pada 2008
Dalam wawancara khusus dengan radio BBC Indonesia untuk acara Tokoh pada November 2008, Carmel ditanya apakah Tapol yang didirikannya masih mempunyai relevansi di Indonesia, mengingat sebagian besar tahanan politik sudah dibebaskan dan reformasi telah bergulir.
Ketika itu, ia berpendapat organisasinya masih relevan karena pelanggaran HAM masih terjadi, terutama di Papua. Betapapun ia mengaku akan lebih senang jika TAPOL tak diperlukan lagi.
"Mudahan-mudahan relevansi TAPOL akan berakhir. Harapan kami supaya Tapol tidak relevan lagi, supaya Indonesia berjalan seperti negara demokratis yang biasa," tambah Carmel dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, pada November 2008.
Selaku penerusnya di Tapol saat ini, Steve Alston mengatakan harapan Carmel itu tidak terwujud sampai akhir hayatnya.
"Semakin jelas TAPOL masih relevan, khususnya dalam isu Papua dan hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri," ujar Steve Alston.
"Kami selalu berhati-hati di TAPOL bahwa kami tidak mendukung kemerdekaan di daerah-daerah Indonesia.
"Kami hanya mendukung hak rakyat untuk membuat keputusan mereka sendiri dan mereka dimintai pendapat," paparnya.
Ia merujuk pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 yang mendukung integrasi Papua - dulu dikenal dengan nama Irian Barat - ke dalam wilayah Indonesia.
Meskipun hasilnya diterima PBB dan dijadikan dasar hukum bagi pemerintah Indonesia bahwa Papua adalah bagian integral wilayahnya, validitas Pepera itu terus diungkit-ungkit.
"Kami mendukung hak mereka atas referendum untuk menentukan nasib mereka sendiri, dalam hal itu.
"Jadi TAPOL semakin relevan karena hak-hak menentukan nasib sendiri tidak saja diabaikan tetapi juga dengan cara yang brutal. Itulah konflik yang sedang terjadi di Papua sekarang.
"Tetapi masalah HAM Indonesia dan hak-hak tahanan politik, yang pada intinya menjadi fokus TapolL, masih terjadia. Ada orang-orang yang dipenjarakan atau didiskriminasi karena keyakinan politiknya," Steve Alston menjabarkan alasannya.
Konflik di Papua mengalami eskalasi menyusul serangkaian aksi kekerasan yang ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris pada akhir April.
Berikut kesaksian tiga orang aktivis HAM dari Indonesia dan politikus asal Timor Leste tentang peran penting Carmel Budiardjo dalam mengampanyekan penegakan HAM di Indonesia:
'Carmel, sosok paling konsisten mengadvokasi pelanggaran HAM di Indonesia'
(Andreas Harsono, pegiat organisasi Human Rights Watch (HRW) Indonesia)
Salah-satu peran penting Carmel Budiardjo, menurut Andreas Harsono, adalah saat dia mendirikan organisasi TAPOL - singkatan dari tahanan politik - pada 1973.
Organisasi ini didirikan Carmel di London untuk menyuarakan tuntutan pembebasan para tahanan politik yang masih berada di penjara.
"Mula-mula, organisasi ini khusus menyoroti tentang tapol 1965 di Indonesia," kata Andreas Harsono kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/06).
Ketika sebagian tapol 1965 mulai dibebaskan pada 1977 setelah didesak oleh Presiden AS Jimmy Carter, perhatian Carmel terhadap persoalan pelanggaran HAM di Indonesia, makin meluas.
Misalnya saja, TAPOL mendokumentasikan peristiwa Tanjung Priok pada 1984, kekerasan di Aceh, hingga Timor Leste. "Juga masalah di Papua," kata Andreas.
Di sinilah, Andreas kemudian menilai, TAPOL dan sosok Carmel di belakangnya, setidaknya merupakan organisasi "paling konsisten" di dalam mengadvokasi persoalan dugaan pelanggaran HAM di Indonesia.
"Secara umum, peran Carmel itu mendokumentasikan pelanggaram HAM (di Indonesia)," ujar Andreas.
Dia melakukan "pencatatan, mencari tanggal, mencari nama orang, mengecek, kemudian diedit" serta "menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris" lantas "diterbitkan".
Kebanyakan kasus-kasus yang 'ditangani' TAPOL adalah persoalan yang menyangkut perkara politik.
"Kebanyakan kasus kebebasan berekspresi. Orang-orang ini menyampaikan aspirasi mereka untuk merdeka dari Indonesia dengan damai. Dan mereka ditangkap. Atau ada yang ditembak, dibunuh. Nah itu dia data dan terbitkan," jelasnya.
Pada Agustus 2005, Andreas pernah mewawancarai Carmel di rumahnya di London. Saat itu Carmel berpendapat bahwa perjuangan politik itu sebaiknya tidak diletakkan di atas perjuangan kemanusiaan.
Dalam wawancara itu, Carmel menganggap bahwa "bangsa Indonesia" bukan sesuatu yang "sudah selesai".
"Ketegangan antar entitas di Indonesia, baik itu entitas agama, suku, bekas kerajaan, itu masih tinggi sekali. Dan susah untuk berada pada suatu posisi untuk membela semuanya," ujar Andreas.
Karena itu, perjuangan yang baik adalah "perjuangan hak asasi manusia, walaupun dia tidak menentang gerakan kemerdekaan," ungkap Andreas.
Carmel: 'Jangan tangkap orang Papua hanya karena mengenakan Bintang Kejora'
Carmel terus mencatat, mendokumentasikan dan mempresentasikan masalah kekerasan 1965 di berbagai tempat di dunia.
"Dia bukan satu-satunya, tetapi dia berperan besar untuk memperjuangkan kemanusiaan di Indonesia. Kesadaran akan pelanggaran HAM di Indonesia, mau-enggak-mau, suka atau tidak suka, pasti akan melibatkan nama Carmel Budiardjo," ujar Andreas.
"Dan, sebelum sakit, dia terus berdikusi, berpikir, termasuk soal Papua," tambahnya.
Dalam kasus Papua, Carmel secara umum meminta agar tapol dibebaskan, membuka Papua bagi peliputan jurnalistik yang independen buat wartawan asing, serta membuka diri bagi kehadiran tim PBB.
Dan, "jangan menangkap orang Papua karena memakai Bintang Kejora atau yang teriak Merdeka. Ini juga berlaku untuk orang-orang di Aceh dan Maluku. Karena, lagi-lagi, proyek Indonesia ini tak akan berjalan mulus bila dilakukan dengan kekerasan."
Selain pernah menerima penghargaan dari lembaga Swedia "The Right Livelihood Award" - dipandang sebagai Hadiah Nobel alternatif, Carmel juga pernah menerima penghargaan dari Forum Demokrasi Rakyat Papua (2010).
Dia dinilai "terbukti gigih" dalam memperjuangkan "harkat dan martabat" bangsa Papua sejak 1970an.
Setahun sebelumnya, 2009, Carmel menerima 'Ordem de Timor-Leste', yaitu tanda kehormatan tertinggi dari pemerintah Timor Leste.
Disebutkan kontribusi Carmel "diakui dan signifikan bagi negara dan bangsa Timor Leste secara umum".
Pada 1999, International Forum for Aceh, yang berpusat di New York, memberi gelar khas perempuan Aceh kepada "Tjut Carmel Budiardjo."
Menurut M. Nur Djuli dari International Forum for Aceh, "Kami juga memberinya sebuah plaque bertuliskan poem bahasa Aceh, bunyinya: Reudôk di glé ujeuën muprœt-prœt, aneuëk guda rœt ôn naleuëng paya. Meunyo lôn ingat budi gata gœt bak tiep simpang rœt lôn rô ië mata."
"Carmel ini mungkin orang satu-satunya di dunia yang, selain menerima penghargaan internasional, juga menerima penghargaan dari tiga daerah yang pelanggaran HAM-nya besar," kata Andreas.
Baca juga:
- Papua: Mengapa pemerintah Indonesia tidak membuka dialog seperti perundingan damai dengan GAM?
- Banyak sandungan menuju ruang dialog Papua, siapa wakilnya dan apa agendanya?: 'Jelas tentang hak-hak bangsa Papua untuk merdeka'
- Upaya internasionalisasi Papua: 'Negara-negara anggota PBB lebih banyak dengar suara pemerintah Indonesia'
Rumah sekaligus kantor
Rumah Carmel di London disulap sekaligus sebagai kantor TAPOL demi menghemat, lantaran "TAPOL ini enggak banyak uang," kata Andreas.
Lantai dua rumahnya dijadikan ruang kerja organisasi itu, dan Carmel tinggal seorang di rumah itu setelah kedua anaknya beranjak dewasa.
Bekas kamar anak-anaknya kemudian sering dipakai bagi tamu-tamunya. "Dari orang Aceh, Maluku, Papua, Timor Leste, itu sering menginap di situ," ungkapnya.
Seingat Andreas, bahkan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro saat mengikuti pelatihan tentang HAM di London, acap kali mendapat bantuan dari Carmel.
'Lobi Carmel sangat kuat dalam masalah pelanggaran HAM'
(Otto Syamsudin, mantan Ketua Komnas HAM, pegiat kemanusiaan saat Aceh di masa konflik)
Carmel Budiardjo merupakan sosok yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi dalam mengadvokasi pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Aceh, kata Otto Syamsuddin.
Otto mengaku pernah difasilitasi oleh TAPOL dan dua kali menginap di rumah Carmel di London, diantaranya pada 1999.
Sepengetahuannya, Carmel memiliki 'pengaruh' yang kuat di parlemen Inggris. "Di situlah pentingnya ibu Carmel," katanya.
Dia mencontohkan saat dia berada di Belanda pada 1999 untuk mengampanyekan pelanggaran HAM di Aceh, Carmel mengundangnya untuk datang ke London. Saat itu dia tidak memiliki visa ke Inggris, dan karenanya dia harus kembali ke Indonesia.
"Tetapi ibu Carmel bisa melobi parlemen dan mendapat fasilitas untuk saya mendapatkan visa di Belanda," ujarnya. "Di situ betapa kuat lobi politiknya untuk masalah-masalah pelanggaran HAM."
'Tokoh ideal yang saya panuti'
Selama Aceh dilanda konflik, Carmel selalu mendapatkan informasi dari berbagai sumber, sehingga bisa mematahkan klaim-klaim sepihak terkait laporan dugaan pelanggaran HAM.
Otto mengaku menyaksikan sendiri ketika Carmel "membongkat semua dokumennya", di antaranya surat-surat dari berbagai sumber terkait masalah terutama di Aceh.
"Jadi sangat luas pengetahuannya, informasinya, sehingga memudahkan beliau melakukan validasi informasi yang beliau peroleh. Itu luar biasa," ungkap Otto.
Dalam menjalankan perannya, Carmel disebutnya bekerja "tanpa lelah, kontinyu, dan terkesan tidak pernah jenuh". "Beliau adalah tokoh ideal yang saya panuti," akunya.
Peran Carmel adalah melakukan advokasi sesuai posisinya yang tidak masuk ke jalur legal, atau mengampanyekan tentang fluktuasi peristiwa-peristiwa gelombang pelanggaran HAM di Aceh sejak kebijakan DOM.
Menurut Otto, Carmel juga berkomunikasi dengan pemimpin GAM, Hasan Tiro. Inilah yang menurut Otto, bahwa Carmel juga memiliki lobi yang kuat dengan pemimpin inti GAM.
Baca juga:
- GAM, Hasan Tiro dan formalisasi syariat Islam: Kaum muda Aceh menafsir sejarah
- Sepuluh tahun perdamaian Aceh: Kesaksian empat eks kombatan GAM
- KKR Aceh belum juga terbentuk, 10 tahun setelah MoU Helsinki
'Carmel sediakan jendela, agar dunia amati Timor Leste'
(Joaquim da Fonseca, Sekjen Renetil, mantan Dubes Timor Leste di Inggris, terlibat perlawanan melawan pendudukan Indonesia)
"Ibu Carmel itu menyediakan sebuah jendela, di mana orang-orang dari luar dapat melihat ke dalam, untuk mengamati keadaan di Timor Leste," kata Joaquim da Fonseca kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/06).
Dia juga menyediakan sebuah corong bagi orang Timor Leste tanpa harus berbicara sehingga suaranya bisa didengar, katanya.
Peran penting Carmel Budiardjo dalam mengadvokasi pelanggaran HAM di Timor Leste adalah di bidang publikasi, karena saat itu tidak banyak yang menulis tentang Timor Leste.
"Apa yang dilakukan Ibu Carmel dengan TAPOLnya itu penting sekali, karena tempatnya di jantung Eropa dan bisa menyediakan informasi yang bisa digunakan oleh orang-orang di sana," kata Joaquim kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/06).
Pada saat yang sama, Carmel menyediakan informasi yang sudah terolah untuk dikonsumsi masyarakat dunia dan, bahkan, untuk publik di Indonesia.
"Terkadang mereka lebih memahami tentang sistem pemerintahan Indonesia sehingga mudah dicerna oleh publik Indonesia," katanya.
Hal lainnya, menurutnya, keberadaan Carmel dan TAPOL yang disebutnya 'berjarak' dengan Indonesia, sehingga unsur subyektivitasnya lebih rendah ketimbang orang Timor Leste sendiri.
"Itu menambah nilai tambah kepada publikasi-publikasi yang dikeluarkan oleh Ibu Carmel dan TAPOL terkait masalah di Timor Leste saat itu."
Melalui publikasinya, Joaquim menilai, Carmel memiliki kedekatan dengan Timor Leste, karena isinya sangat dekat dengan pengalaman orang-orang Timor Leste dan yang berada di Indonesia.
"Mereka menuliskan di Inggris, tapi 'jarak' itu hilang, karena isunya begitu dekat dan cara pandangnya begitu familiar," katanya. "Seolah-olah dekat sekali."
Selama melakukan studi dan menjadi Duta Besar Timor Leste untuk Inggris, Joaquim mengaku beberapa kali bertemu Carmel dan dia memiliki kesan yang sangat kuat terhadap sosoknya.
"Ibu Carmel sangat gigih sebagai sosok pribadi, bukan hanya dalam perjuangannya, tapi hidupnya sendiri dia hadapi dengan kegigihan.
"Itulah sebabnya, begitu mendengar banyak hal tentang ibu Carmel, begitu sudah bertemu, kita tidak begitu heran, 'oh pantas saja, orangnya seperti ini', makanya dia mampu membuat hal-hal yang selama ini kita kagumi, hargai, hormati."
Carmel memperoleh penghargaan dari pemerintah Timoe Leste berupa 'piagam solidaritas'. "Ini diberikan kepada siapa yang membantu Timor Leste dalam perjuangannya. Dan Ibu Carmel adalah salah-satunya."
Baca juga:
- Ade Rostina Sitompul peroleh penghargaan dari Pemerintah Timor Leste: 'Kemanusiaan segalanya'
- Timor Leste bangkitkan hukum adat untuk melestarikan lingkungan usai merdeka dari Indonesia - 'Tidak ingin jadi Bali yang lain'
- Kembalinya anak Timor Leste yang 'diambil paksa' oleh TNI
'Carmel meminta kami berkomitmen dan setia atas perjuangan'
(Ita Fatia Nadia, pegiat kemanusiaan, bekerja sama dengan Carmel dalam kasus Tapol 1965)
Ita Fatia Nadia mengenal Carmel pada 1979 saat dia masih mahasiswa. Ketika itu dia membantu Romo Mangun Wijaya guna mengurus para tahanan politik 1965 di Pulau Buru yang akan dipulangkan.
Saat itu Ita diminta melakukan kontak dengan Carmel Budiardjo melalui telepon atau surat-menyurat. Demi keamanan, Carmel menggunakan nama samaran "Christine".
Salah-satu yang didialogkan dalam kontaknya dengan Carmel, Ita - sebagai koordinator lapangan - harus memberikan rincian mengenai bagaimana dia dkk menjemput para eks tapol di Pelabuhan Kali Emas, Semarang.
"Saya mengenal betul bagaimana dia secara serius dan sangat intensif, terus menerus, lewat telepon, untuk mengetahui persiapan penjemputan para tapol yang akan mendarat di Semarang," ungkap Ita Nadia.
Ketika para tapol sudah mendarat, Carmel menugasi Ita dkk untuk mencari tahu bagaimana kondisi mereka, termasuk berapa jumlah yang meninggal, sakit, serta memotretnya. "Tapi sulit untuk memfoto, karena tentara banyak sekali," ungkapnya.
"Ketika itu ibu Carmel memberikan dukungan keuangan untuk menyewa bus dan bagaimana menampung para eks tapol," kata Ita kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/06)
Laporan yang dihimpun Ita dkk itu kemudian dilaporkan oleh Romo Mangun kepada Carmel dan kemudian ditulis kembali dan disiarkan ke publik, antara lain, melalui majalah TAPOL.
Sejak 1973 sampai 1980, Carmel secara konsisten dan intensif terus menerus mengabarkan tentang pelanggaran HAM di Pulau Buru, Pelantungan, hingga Nusakambangan.
Baca juga:
"Dia dengan sangat bagus melaporkan berapa tahanan yang meninggal," ujar Ita.
Sampai 1990an, Carmel mengirimkan sejumlah uang - salah-satunya - kepada tim Romo Mangun Wijaya untuk digunakan merawat kesehatan eks tapol. Dana ini didapatkan Carmel melalui berbagai acara penggalangan di luar negeri.
"Saya belajar dari ibu Carmel, bagaimana mengurus atau membantu khusus para tapol, tidak hanya tapol 65, tapi juga yang lain, yang hak asasinya terlanggar," ungkapnya.
Salah-satunya di Aceh. Saat itu, Carmel juga membantu orang-orang yang dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan mengalami penyiksaan yang berat selama diberlakukan DOM (daerah operasi militer).
Selama di Aceh, seingat Ita Nadia, Carmel memintanya untuk meneliti tentang kasus 1965 di wilayah itu.
"Jadi komitmen dan konsistensi ibu Carmel terhadap tapol 1965 itu selalu hidup dan kita selalu diingatkan," katanya. Belakangan Carmel juga memberi perhatian khusus kepapa para eks tapol perempuan.
Atas dorongan Carmel agar dia mendokumentasikan nasib para perempuan eks tapol 65, Ita Nadia kemudian menuliskannya dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65.
Setelah Reformasi, persisnya saat Gusdur menjadi presiden, Ita Nadia untuk pertama kalinya bertatap muka dengan Carmel.
"Beliau tetap menyemangati saya untuk merekam pengalaman para perempuan eks tapol 1965, dan itu saya terus kerjakan sampai saat ini."
Pada 2015, saat Ita Nadia dan suaminya, Hersri Setyawan, yang juga eks tapol 1965, membuat film tentang pulau Buru, Carmel mengutarakan idenya agar dibuat pula dokumentasi tentang kamp Plantungan.
Hal itu ditekankan Carmel Budiardjo lantaran dia menjadi saksi kekejaman dan kekerasan oleh aparat terhadap para tapol perempuan yang dituduh sebagai Gerwani di penjara Bukit Duri, Jakarta.
"Ibu Carmel melihat penganiayaan secara seksual terhadap tokoh perempuan (yang menjadi tapol)," ungkapnya.
Itulah sebabnya, dia meminta dokumentasi itu disebarkan sebagai pengetahuan untuk mengungkap sejarah kelam masa lalu.
Dari perjalanan panjang ini, Ita menggambarkan peran penting Carmel Budiardjo sebagai fasilitator dan katalisator untuk terus menerus memberikan petunjuk (guidance) kepada dirinya dan relawan lainnya.
"Dia tak pernah menggurui, tapi cuma mengatakan 'coba kamu telusuri ini', dan setelah kami telusuri, dia berkata 'coba dikembangkan', dan setelahnya, 'coba kamu lihat lagi di daerah itu," paparnya.
Carmel memberikan tuntunan kepada Ita dkk untuk melacak terus tentang pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya peristiwa 1965.
Konsistensinya terhadap kasus pelanggaran HAM 1965 terus dia lakukan saat Ita dkk melakukan hal yang sama dalam peristiwa kekerasan di Timor Leste.
"Coba apakah ada hubungannya tidak, antara Timor Leste dan 1965 di Indonesia. Jadi itu memberikan kepada kami untuk melacak dan mencari tahu, dan dia memberitahu titik-titik yang harus kita temukan."
"Dia memberikan tuntunan dan pencerahan untuk bagaimana kami melacak sebuah pelanggaran HAM berat yang begitu kelam dan bagaimana itu didokumentasikan dan dituliskan," katanya.
Yang kedua, menurutnya, Carmel memberikan motivasi agar dirinya dkk berkomitmen, konsisten dan setia terhadap apa yang diperjuangkan.
"Dan jika mengerjakannya dengan baik, dia memberikan ruang kepada kita untuk berkembang. Misalnya, tulisan-tulisan saya tentang 1965, dia memberikan dukungan, ketika dibukukan."