Studi Terbaru, Long Covid Memiliki 200 Lebih Gejala Seperti Kelelahan hingga Halusinasi
Menurut studi terbaru yang diterbitkan dalam Lancet jurnal E Clinical Medicine, long Covid memiliki lebih dari 200 gejala sakit.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Menurut studi terbaru yang diterbitkan dalam Lancet jurnal E Clinical Medicine, long Covid memiliki lebih dari 200 gejala sakit.
Dilansir Forbes dari studi yang terbit pada Kamis (15/7/2021) ini, gejala itu berkaitan dengan 10 sistem organ tubuh.
Beberapa diantaranya yakni hilang ingatan, halusinasi, tremor, hingga kelelahan.
Diberitakan Tribunnews pada 23 Maret 2021, disebut long Covid jika pasien corona yang telah sembuh berdasarkan hasil PCR masih merasakan gejala sedang hingga berat.
Misalnya batuk, sesak nafas, nyeri di dada, dan mudah lelah.
Baca juga: Sebaran Kasus Corona 16 Juli 2021 di 34 Provinsi Indonesia, Jakarta Sumbang Terbanyak 12.415 Kasus
Baca juga: Beda Pendapat Tedros dengan Laporan WHO: Kecelakaan Laboratorim Wuhan Mungkin Jadi Muasal Covid-19
Penyintas long Covid dalam studi ini melaporkan total 203 gejala yang berbeda dalam 7 bulan antara Desember 2019 hingga Mei 2020.
Gejala-gejalanya meliputi ruam, kulit mengelupas, masalah pencernaan, kejang otot, gangguan pendengaran, dan tinnitus.
Studi ini berdasarkan survei kepada hampir 4.000 orang dari 56 negara.
Umumnya mereka mengeluhkan kelelahan, kabut otak, dan malaise pasca-aktivitas di mana gejala memburuk setelah upaya fisik atau mental.
Rata-rata, pasien menderita 56 gejala berbeda dan mereka yang masih mengalaminya setelah enam bulan, hampir dua pertiga peserta survei, masih mengalami rata-rata 14 gejala.
Sebanyak 45% dari peserta penelitian melaporkan bahwa mereka ingin jam kerja dipersingkat atau dikurangi.
Sebab gejala yang dialami ini mengganggu kinerja.
Bahkan 22% peserta studi mengaku tidak bisa bekerja sama sekali, ada yang dipecat, mengambil cuti sakit panjang, atau berhenti.
Ahli saraf di University College London sekaligus penulis senior studi ini, Dr. Athena Akrami mengatakan penelitian ini menyoroti "kebutuhan untuk memperluas pedoman medis".