Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Peneliti Afsel Temukan Varian Baru Covid-19 yang Bermutasi Cepat, Berpotensi Kebal Vaksin

Strain baru ini sebenarnya terdiri dari beberapa mutasi virus dan secara kolektif dikenal sebagai C.1.2.

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Peneliti Afsel Temukan Varian Baru Covid-19 yang Bermutasi Cepat, Berpotensi Kebal Vaksin
Tribunnews/Irwan Rismawan
Tenaga kesehatan bersiap menyuntikkan vaksin Covid-19 jenis AstraZeneca kepada warga di Terowongan Kendal, Jakarta, Jumat (27/8/2021). Pemerintah melaporkan, hingga Kamis (26/8/2021) pukul 12.00 WIB, jumlah masyarakat yang sudah divaksinasi Covid-19 dosis kedua yaitu sebanyak 33.357.249 orang atau 16,02 persen dari total target sasaran vaksinasi. Sementara itu, jumlah masyarakat yang sudah disuntik vaksin Covid-19 dosis pertama yakni sebanyak 59.426.934 orang atau 28,53 persen. Pemerintah telah menetapkan sasaran vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) yaitu 208.265.720 orang. Tribunnews/Irwan Rismawan 

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, CAPE TOWN - Lebih dari 30 peneliti di Afrika Selatan (Afsel) telah menemukan 'varian yang menjadi perhatian' untuk virus corona (Covid-19) baru yang mereka khawatirkan akan lebih menular dan resisten dibandingkan varian sebelumnya terhadap vaksin.

Strain baru ini sebenarnya terdiri dari beberapa mutasi virus dan secara kolektif dikenal sebagai C.1.2.

Strain baru ini telah diidentifikasi oleh para peneliti di National Institute of Communicable Diseases dan KwaZulu-Natal Research Innovation and Sequencing Platform.

C.1.2 kali pertama terdeteksi di Afrika Selatan pada Mei lalu, kemudian sejak saat itu muncul di negara-negara di seluruh dunia, termasuk China, Republik Demokratik Kongo, Mauritius, Selandia Baru, Inggris, Portugal dan Swiss.

Dalam sebuah makalah yang diposting pada medRxiv.org, para ilmuwan ini secara hati-hati menjelaskan bahwa garis keturunan baru telah 'dikaitkan dengan pelepasan antibodi penetral kelas 3 tertentu', yakni perlindungan yang diberikan baik secara alami atau melalui bantuan vaksin terhadap Covid-19.

Baca juga: Menkes Jepang: 2 Warga Meninggal karena Vaksinasi Covid-19, Bukan karena Zat Asing

Silsilah C.1.2 juga disebut memiliki tingkat mutasi sekitar 41,8 per tahun, hampir mencapai dua kali lipat yang diungkapkan oleh varian lain.

Baca juga: Studi: Vaksinasi Covid-19 Dua Dosis Dapat Kurangi Risiko Rawat Inap jika Terpapar Corona

BERITA TERKAIT

"Yang lebih memprihatinkan adalah akumulasi mutasi tambahan yang juga cenderung berdampak pada sensitivitas netralisasi atau pembelahan furin," kata makalah itu.

Baca juga: Kematian Pasien Lansia dengan Dua Strain Covid-19 di Belgia Picu Pertanyaan Soal Risiko Koinfeksi

Peringatan ini merujuk pada kemampuan virus untuk menularkan dan menghindari antibodi.

Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (30/8/2021), C.1.2 disebut berevolusi dari C.1, salah satu dari beberapa garis keturunan yang mendominasi gelombang pertama infeksi SARS-Cov-2 di Afsel dan yang terakhir terdeteksi di negara itu pada Januari 2021.

Garis keturunan baru ini, sejak saat itu telah terdeteksi pada sebagian besar provinsi di Afsel dan tujuh negara yang berada di kawasan Afrika, Eropa, Asia, dan Oseania.

Makalah tersebut menyebutkan bahwa mutasi mencakup banyak substitusi dan penghapusan kode genetik dalam protein lonjakan.

Ini merupakan cara yang digunakan oleh virus corona untuk masuk ke sel manusia, dan berpotensi membuatnya lebih hangat serta lebih sulit untuk dinetralkan.

Para peneliti khawatir bahwa varian ini akan lebih menyebar luas dibandingkan apa yang diprediksi, berdasar pada peningkatan jumlah genom C.1.2 yang konsisten di Afsel setiap bulannya, serupa dengan peningkatan yang diamati pada varian Beta dan Delta.

Makalah ini menekankan bahwa penelitian lebih lanjut akan diperlukan pada C.1.2 untuk menentukan apakah varian itu dapat menjadi kandidat untuk bersaing dengan varian Delta yang merupakan strain SARS-CoV-2 yang diketahui sangat menular dan telah mendatangkan 'malapetaka' pada kampanye inokulasi banyak negara.

Awal bulan ini, para peneliti di Inggris, negara dengan salah satu tingkat penerapan vaksinasi tertinggi di dunia, menemukan bahwa efektivitas vaksin terhadap varian Delta telah turun lebih dari setengah dibandingkan dengan efektivitas terhadap pendahulunya.

Selama periode yang sama, perlindungan terhadap gejala Covid-19 pun disebut telah turun menjadi 59 persen.

Sementara negara-negara lain, termasuk Israel yang merupakan negara pemberi vaksin terbanyak lainnya, telah melaporkan masalah serupa.

Departemen Kesehatan Afsel pun telah memperingatkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang 'varian menarik' C.1.2 ini.

Wakil Direktur Jenderal Departemen Kesehatan negara itu, Anban Pillay mengatakan bahwa para profesional kesehatan meyakini varian Delta tidak akan menjadi yang terakhir.

"Varian baru pasti akan berkembang sebagai evolusi alami virus itu, para ilmuwan Afsel saat ini sedang melihat keefektifan in vitro dari vaksin kami terhadap C.1.2. Kementerian berharap beberapa hasil akan bisa dilihat dalam beberapa minggu ke depan," jelas Pillay.

Hingga pekan lalu, sekitar 17,6 persen populasi Afsel yang berjumlah 58,56 juta orang telah divaksinasi menggunakan salah satu dari tiga vaksin Covid-19 yang tersedia di negara tersebut.

Otoritas kesehatan negara itu saat ini telah menyetujui persiapan yang dibuat oleh raksasa farmasi Johnson & Johnson, Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca.

Namun administrasi vaksin AstraZeneca telah ditunda sejak Februari lalu, karena ketidakefektifannya terhadap varian Beta yang tersebar luas di Afsel.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas