Afghanistan Dibayangi Predikat Negara Gagal
Afghanistan mencatat defisit perdagangan lebih kurang 30 persen dari Gross Domestic Product (GDP).
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok Taliban telah berhasil menduduki hampir seluruh wilayah Afghanistan, termasuk ibu kota negara itu, Kabul.
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Afghanistan berujung pada predikat failed state atau negara gagal.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Muhammad Zulfikar Rahmat mengatakan Afghanistan sudah bisa disebut sebagai negara gagal.
Menurutnya, ada banyak hal yang mendefinisikan kegagalan di negeri dengan julukan kuburan kekaisaran.
"Hampir separuh penduduk Afghanistan hidup di bawah garis kemiskinan. Food insecurity juga menjadi masalah akut yang terjadi," ucap Zulfikar dalam diskusi virtual, Jumat (3/9/2021).
Afghanistan juga mencatat defisit perdagangan lebih kurang 30 persen dari Gross Domestic Product (GDP).
"Pemerintahan terlalu tergantung terhadap bantuan asing. Jadi 80 persen dana yang ada di Afghanistan adalah bantuan asing," urainya.
Baca juga: 14 Juta Rakyat Afghanistan Terancam Kelaparan Setelah Taliban Berkuasa
Hal ini berdampak pada pengembangan private sector hingga diversifikasi menjadi sulit direalisasikan.
Ditambah lagi institusi pemerintah yang lemah, tidak ada pembangunan infrastruktur serta korupsi membuat Afghanistan makin terpuruk.
Menurut doing business survey, Afghanistan menempati ranking ke-173 dari total 190 negara.
"Posisi ini cukup rendah. GDP tercatat menempati urutan 213 dari 228 negara. Ini mempengaruhi angka pengangguran yang sangat besar di Afghanistan," kata Zulfikar.
Ambil Alih Kekuasaan
Ada beberapa faktor kelompok Taliban dapat menguasai Afghanistan. Rangkuman beberapa literasi bahwa Taliban memiliki strategi perang dan legitimasi masyarakat.
Pemerintahan Afghanistan yang korupsi membuat masyarakat hilang kepercayaan.
"Masyarakat Afghanistan bahkan menganggap pemerintah di Kabul adalah puppet regime atau pemerintah yang dibentuk oleh Amerika Serikat sehingga tidak bisa dipercaya," ucap Zulfikar.
Faktor terakhir yakni mundurnya Amerika Serikat dari Afghanistan.
Intervensi AS ke Afghanistan dinilai juga menjadi pemantik masyarakat untuk mengusir penjajah.
Afghanistan mengalami masa intervensi asing selama lebih dari 20 tahun.
"Di mana pun negara ketika dijajah negara asing, tentunya rakyat cenderung mengkudeta penjajah tersebut," kata dosen Universitas Islam Indonesia ini. (tribun network/nas)