Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Kasus Covid-19 Naik, Singapura Terjebak di 'Hidup Berdampingan dengan Virus' atau 'Kembali ke Awal'

Kasus Covid-19 kembali melonjak, kini Singapura dihadapkan dengan pilihan "hidup berdampingan dengan virus" atau kembali ke strategi ketat

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Fajar Nasucha
zoom-in Kasus Covid-19 Naik, Singapura Terjebak di 'Hidup Berdampingan dengan Virus' atau 'Kembali ke Awal'
Roslan RAHMAN / AFP
Seorang pria mengendarai sepeda di sepanjang jalan di kawasan bisnis keuangan Raffles Place di Singapura pada tanggal 20 April 2021. 

TRIBUNNEWS.COM - Perjalanan bebas karantina dan dilonggarkannya jarak sosial adalah janji yang diberikan pemerintah Singapura kepada warganya untuk mempercepat vaksinasi, SCMP melaporkan.

Kini, 88 persen dari populasi negara yang memenuhi syarat telah divaksinasi penuh.

Selama hampir dua tahun, Singapura menutup perbatasannya dan memberlakukan pembatasan ketat.

Namun mulai Rabu (8/9/2021), penduduk Singapura yang divaksinasi penuh mendapatkan lampu hijau untuk melakukan perjalanan ke Jerman dan Brunei.

Mereka pun bisa kembali tanpa menjalani karantina.

Singapura juga akan menerima pelancong yang divaksinasi dari kedua negara itu dan memungkinkan mereka berkeliaran dengan bebas setelah tes Covid-19 negatif.

Langkah itu diharapkan dapat menjadi pembuka dimulainya kembali kegiatan ekonomi.

Baca juga: Singapura Sumbang 100.000 Vaksin Pfizer ke Johor Malaysia

Baca juga: Singapura Tawarkan Vaksin Booster kepada Lansia dan Orang dengan Gangguan Kekebalan

Pekerja kantor berjalan keluar saat istirahat makan siang di kawasan bisnis keuangan Raffles Place di Singapura pada 5 Agustus 2021.
Pekerja kantor berjalan keluar saat istirahat makan siang di kawasan bisnis keuangan Raffles Place di Singapura pada 5 Agustus 2021. (ROSLAN RAHMAN / AFP)
Berita Rekomendasi

Namun, adanya lonjakan kasus membuat Singapura berada di tengah ketidakpastian atas rencananya untuk memperlakukan virus corona sebagai endemik dan dibuka kembali ekonomi secara progresif.

Setelah melaporkan 1.325 kasus domestik dalam seminggu terakhir, yang naik dari 723 minggu sebelumnya, Singapura pada hari Senin (6/9/2021) mengumumkan larangan pertemuan dan interaksi di tempat kerja.

Larangan itu akan efektif Rabu, yang mendesak orang untuk membatasi pertemuan sosial menjadi sekali sehari.

Pada hari Senin, pernyataan menteri keuangan Lawrence Wong memicu pertanyaan di media sosial tentang apakah tujuan untuk pembukaan kembali ekonomi di dalam negeri sekali lagi akan tertunda atau apakah penerapan kebijakan "hidup berdampingan dengan virus" sudah dekat.

Wong mengatakan pihak berwenang tetap mencoba memperlambat penularan tanpa memperketat pembatasan.

Tetapi ia tidak akan mengesampingkan kembalinya ke keadaan "peringatan tinggi" di mana makan di luar dilarang.

Lebih buruk lagi, diterapkannya lagi "pemutus sirkuit" seperti tahun lalu, di mana orang harus tetap di rumah kecuali untuk berbelanja atau berolahraga di luar ruangan.

Sikap hati-hati pemerintah menyoroti kesulitan yang dihadapi ekonomi Asia – yang awalnya menutup perbatasan dan mengandalkan pembatasan ketat – dalam transisi mereka untuk hidup berdampingan dengan Covid-19.

Sebab, semakin jelas bahwa vaksinasi saja tidak dapat menangkis varian Delta yang lebih ganas.

Dr Jeremy Lim dari Saw Swee Hock School of Public Health di National University of Singapore (NUS) mengatakan peringatan Wong didasarkan pada model epidemiologi, dan kekhawatiran teoretis dapat dimengerti.

Menurut pemodelan oleh Alex Cook, wakil dekan penelitian di universitas yang sama, Singapura dapat mencapai 1.000 kasus per hari pada akhir September jika infeksi terus berlanjut pada tingkat saat ini.

Alasan Wong adalah bahwa beban kasus yang sangat tinggi akan memicu jumlah yang cukup besar di ICU dan akhirnya, kematian.

Ada 643 pasien Covid-19 saat ini dirawat di rumah sakit di Singapura, enam di antaranya berada di unit perawatan intensif.

Namun, Lim mengatakan peringatan hari Senin adalah "pil pahit yang harus ditelan bagi sebagian besar warga Singapura yang dengan patuh mengikuti arahan pemerintah, dan bersiap menandai awal penuh era ketahanan terhadap Covid".

Cook menambahkan: "Di satu sisi, Singapura telah mengatakan siap untuk pindah ke fase pandemi berikutnya, yang harus merelakan banyak kematian dan penerimaan kasus yang akan meningkat."

"Namun ketika kasus benar-benar meningkat, ada wajah tegang dan pengetatan pembatasan."

"Jika Singapura tidak pernah mau membiarkan kasus meningkat, Singapura akan terjebak memerangi pandemi selama bertahun-tahun."

Pengunjung mengantri untuk memasuki Kebun Binatang Singapura di Singapura pada 6 Juli 2020, pada hari pertama dibuka kembali untuk umum setelah atraksi ditutup sementara karena kekhawatiran tentang virus corona baru COVID-19.
Pengunjung mengantri untuk memasuki Kebun Binatang Singapura di Singapura pada 6 Juli 2020, pada hari pertama dibuka kembali untuk umum setelah atraksi ditutup sementara karena kekhawatiran tentang virus corona baru COVID-19. (Roslan RAHMAN / AFP)

Dr David Allen, konsultan senior penyakit menular di NUS Yong Loo Lin School of Medicine, mengatakan orang-orang semakin banyak mendapat informasi dan akrab dengan virus.

Dikombinasikan dengan kelelahan pandemi, masyarakat lebih mungkin terganggu oleh pembatasan daripada jumlah kasus.

Allen mengatakan pemerintah telah konsisten mengatakan bahwa situasi virus fluktuatif, tetapi warga hanya mendengar sebagian dari pesan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Ini adalah situasi yang jarang terjadi di Singapura, di mana pemerintah mendapat pujian atas pesannya yang tajam dan kampanye vaksinasi yang sukses.

"Tetapi menjelaskan endemisitas dan bagaimana suatu negara akan hidup dengan Covid-19 tidak semudah mendorong orang untuk divaksinasi," kata Claire Hooker, dosen senior humaniora kesehatan dan medis di University of Sydney.

"Memberitahu orang untuk hidup dengan Covid-19 lebih rumit karena kita kembali ke keadaan ketidakpastian dan pengaturan akan dilakukan dengan cepat," katanya.

"Anda tidak bisa memberi orang pesan sederhana yang pasti."

Kadang-kadang, kata Hooker, ini berarti menerapkan kembali pembatasan yang orang pikir mereka telah dibebaskan.

Hal itu akan membuat pesan terdengar bertentangan atau membingungkan atau mengecewakan orang, ujarnya.

Ketika warga Singapura mengungkapkan kekecewaannya atas situasi tersebut, Hooker mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh menghindar dari mendengarkan pemikiran warga.

"Hal pertama adalah mengakuinya, mengatakan 'Saya tahu semua orang kecewa. Saya tahu kami mungkin terdengar seperti kami bertentangan dengan diri kami sendiri, mungkin Anda merasa dikhianati karena kami menawarkan harapan palsu kepada Anda'," katanya.

Kemudian, kata Hooker, pihak berwenang dapat membagikan indikator spesifik yang mereka cari saat beralih pembatasan, tetapi pada saat yang sama harus terbuka tentang mengkomunikasikan tingkat ketidakpastian.

"Pendorong kemarahan yang besar adalah ketika orang merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali dan tidak didengar," kata Cook dari NUS.

"Kami masih melaporkan nomor kasus harian di halaman depan, tetapi jumlah sebenarnya yang perlu dikhawatirkan adalah berapa banyak yang jatuh sakit parah, bukan berapa banyak kasus ringan yang ditemukan melalui upaya pelacakan kontak massal."

Dia mengatakan bahwa Singapura membutuhkan gagasan yang jelas tentang seperti apa negara endemik itu, seperti mencatat sejumlah besar kasus domestik setiap hari selama itu bukan kasus yang parah.

Pihak berwenang kemudian harus "mencerdaskan" penduduk terhadap citra itu, katanya.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
asd
Video Player is loading.
Current Time 0:00
Duration 0:00
Loaded: 0%
Stream Type LIVE
Remaining Time 0:00
Â
1x
    • Chapters
    • descriptions off, selected
    • subtitles off, selected
      © 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
      Atas