Walau Ditakuti, Hukum Versi Taliban Dinilai Bebas Korup Tak Seperti Pemerintah yang Didukung AS
Para pejuang Taliban yang menjadi polisi tidak menuntut suap sebagaimana kebiasaan petugas polisi di bawah pemerintahan Afghanistan sebelumnya.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Pravitri Retno W

TRIBUNNEWS.COM - Bagi sebagian warga Afghanistan, hukum keras versi Taliban berdampak positif meskipun juga menakutkan.
Dilansir AP News, saat ini para pejuang Taliban yang menjadi polisi tidak menuntut suap sebagaimana kebiasaan petugas polisi di bawah pemerintahan Afghanistan sebelumnya.
Hukum dan ideologi Taliban yang keras serta batasan bagi kebebasan perempuan membuat takut kebanyakan masyarakat Afghanistan.
Namun, kelompok ini memiliki reputasi yang tidak korup, berbeda dengan pemerintahan Afghanistan yang didukung AS.
Menurut AP, pemerintahan yang telah digulingkan penuh dengan aksi penyuapan, penggelapan, dan korupsi.
Baca juga: Qatar: Langkah Taliban soal Pendidikan bagi Anak Perempuan Sangat Mengecewakan
Baca juga: Kemampuan Taliban untuk Kuasai Afghanistan di Luar Prediksi Amerika Serikat

Diketahui, hukum Taliban kemungkinan akan diberlakukan lagi, salah satunya potong tangan bagi pencuri.
Sementara itu, di bawah pemerintahan sebelumnya, komplotan pencuri bebas beraksi di jalanan yang gelap.
Selama berkuasa di akhir 1990an, Taliban menawarkan stabilitas di Afghanistan dan menghilangkan korupsi.
Sebagai gantinya, kelompok ini memaksakan interpretasi mereka terhadap hukum Islam.
Hukuman-hukuman itu berupa potong tangan, eksekusi mati bagi pembunuh, hingga memukuli laki-laki yang mencukur jenggot atau tidak salat berjamaah.
Selama sepekan terakhir ini, Taliban telah menangkap 85 tersangka kriminal termasuk pelaku kejahatan ringan, pembunuhan, penculikan, dan perampokan, jelas Noor Ahmad Rabbani dari departemen anti-kejahatan Taliban.
Taliban sebelumnya menyatakan, mereka akan mengembalikan hukuman yang ketat seperti saat memerintah dahulu.
Saat ini sejumlah hukuman sudah dilakukan, seperti adanya laporan jasad empat pria digantung di pusat Kota Herat usai dieksekusi karena disebut mencoba melakukan penculikan.
Kemudian pencuri di Kabul dilaporkan diarak di jalanan untuk dipermalukan dengan cara diborgol, wajah dicat, atau bahkan memasukkan roti basi ke dalam mulut mereka.
Walaupun tampak menakutkan, sejauh ini, sebagaimana dilaporkan AP News, kelompok militan ini membawa kelegaan dari korupsi.

Sebelum pengambilalihan Taliban pada Agustus, orang harus membayar suap hanya untuk melunasi tagihan listrik.
Meskipun korupsi terjadi terang-terangan, AS dan Eropa menggelontorkan miliaran dolar ke pemerintah dengan sedikit pengawasan.
Taliban juga diketahui menyerahkan perselisihan kepada para tetua di wilayah tersebut, seperti saat memerintah di akhir 90an.
Pekan lalu, sekelompok tetua berkumpul di masjid di Kabul untuk mengadili penusukan yang menyebabkan luka ringan.
Para tetua memerintahkan ayah pelaku memberikan uang ganti rugi kepada korban setara $400 (Rp 5,7 juta) yang cukup untuk menutupi biaya pengobatan.
Menurut ayah dari pelaku, hukuman ini cepat dan jauh lebih mudah daripada sistem peradilan di bawah pemerintahan sebelumnya.
Seorang warga bernama Khan (60) dari Provinsi Khost timur, datang ke Taliban untuk meminta bantuan mengumpulkan pinjaman yang belum dibayar.
Dia mengaku mendukung hukuman Taliban seperti amputasi, meskipun tidak untuk pencuri kecil.
Menurutnya, hukum Taliban membawa keamanan "karena mereka memperlakukan penjahat di bawah hukum Islam."
Seorang kepala sekolah, yang tidak mau menyebutkan namanya datang ke kantor polisi Taliban untuk mengadukan wali murid yang terlambat membayar biaya sekolah selama berbulan-bulan.

Baca juga: Afghanistan Disebut akan Kehilangan Aliran Listrik Bila Tak Segera Bayar Tagihan
Baca juga: China Kirimkan Bantuan Kemanusiaan untuk Rakyat Afghanistan
Dia mengatakan ingin memberi kesempatan pada pemerintahan Taliban, sebab di bawah pemerintahan sebelumnya, ia dikenai pungutan setiap kali pergi ke polisi untuk mengadukan kasusnya.
Pengadu lain, yang hanya menyebut namanya sebagai Dr. Sharif, mengaku tidak keberatan dengan hukuman gaya Taliban.
Namun, dia menentang dengan keras untuk memposisikan para pemimpin Taliban dan ulama agama atas departemen pemerintah.
"Kami membutuhkan orang-orang profesional, kami membutuhkan spesialis ekonomi, bukan maulvi yang tidak tahu bisnis," ujarnya menggunakan kata pengganti untuk ulama Muslim.
Kendati demikian, dia menyambut baik keluhannya didengar tanpa permintaan suap dari polisi Taliban.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)