Taliban Larang Penggunaan Mata Uang Asing di Afghanistan, Ekonomi Diambang Kehancuran
Taliban mengumumkan pelarangan penggunaan seluruh mata uang asing di Afghanistan, sementara kondisi negara di ambang kehancuran ekonomi
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM - Taliban mengumumkan larangan total penggunaan mata uang asing di seluruh wilayah Afghanistan.
Pengumuman mengejutkan dikeluarkan pada Selasa (2/11/2021).
Beberapa jam sebelumnya, serangan senjata dan bom terkoordinasi di rumah sakit militer terbesar Afghanistan di ibukota, Kabul, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai puluhan lainnya.
“Emirat Islam menginstruksikan semua warga, pemilik toko, pedagang, pengusaha dan masyarakat umum untuk melakukan semua transaksi di Afghanistan dan secara ketat menahan diri dari menggunakan mata uang asing,” kata Taliban dalam sebuah pernyataan yang diposting online oleh juru bicara Zabihullah Mujahid.
"Siapa pun yang melanggar perintah ini akan menghadapi tindakan hukum," kata pernyataan itu, seperti dilansir dari Al Jazeera.
Baca juga: Dalam Cengkeraman Taliban, Afghanistan Dinilai Berada di Ambang Kehancuran\
Baca juga: Pemimpin Tertinggi Taliban Akhirnya Muncul di Depan Publik, Kunjungi Madrasah di Afghanistan
Dolar AS banyak digunakan di pasar Afghanistan. Sementara daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga, seperti Pakistan, untuk transaksi perdagangan.
Pemerintah Taliban mendesak untuk melepaskan miliaran dolar cadangan bank sentral ketika negara yang dilanda kekeringan itu menghadapi krisis uang tunai, kelaparan massal, dan krisis migrasi baru.
Pemerintah Afghanistan sebelumnya yang didukung Barat telah memarkir miliaran dolar aset di luar negeri dengan Federal Reserve Amerika Serikat dan bank sentral lainnya di Eropa.
Tetapi setelah Taliban mengambil alih negara itu pada bulan Agustus, AS; Bank Dunia; dan Dana Moneter Internasional (IMF), memutuskan untuk memblokir akses Afghanistan ke aset dan pinjaman lebih dari 9,5 miliar dolar AS.
Larangan terhadap mata uang asing ini dianggap sebagai langkah yang pasti akan menyebabkan gangguan lebih lanjut terhadap ekonomi.
Baca juga: Perekonomian Ambruk, Taliban Bujuk Teknokrat Tidak Tinggalkan Afganistan
Baca juga: Pemimpin G20 Berjanji Bantu Afganistan Tanpa Mengakui Taliban
Situasi perekonomian Afghanistan menjelang kehancuran akibat penarikan tiba-tiba dukungan internasional setelah pengambilalihan kelompok tersebut atas negara tersebut.
Keputusan terbaru itu berdampak buruk pada penanganan kesehatan Afghanistan dan sektor lainnya, yang semuanya berjuang untuk melanjutkan operasi di tengah pengurangan bantuan internasional.
Mantan Wakil Menteri Industri dan Perdagangan Afghanistan, Sulaiman Bin Shah mengatakan kepada Al Jazeera akhir bulan lalu bahwa warga Afghanistan membayar harga yang sangat mahal karena lambatnya proses diplomatik dan negosiasi.
Program Pangan Dunia mengatakan sekitar 22,8 juta orang, lebih dari setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan, menghadapi kerawanan pangan akut dan terancam kelaparan. Padahal dua bulan lalu, jumlah mereka hanya 14 juta orang.
Krisis pangan, yang diperburuk oleh perubahan iklim, sangat mengerikan di Afghanistan bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan.
Baca juga: Rusia Gelar Rapat Internasional Membahas Afghanistan, Taliban Diminta Bentuk Pemerintahan Inklusif
Baca juga: Afghanistan Terancam Kembali ke Abad Kegelapan karena Taliban Tak Bayar Listrik
Kelompok-kelompok bantuan mendesak negara-negara, yang prihatin dengan hak asasi manusia di bawah Taliban, untuk berhubungan dengan penguasa baru untuk mencegah kejatuhan yang memicu krisis migrasi serupa dengan eksodus 2015 dari Suriah yang mengguncang Eropa.
Penarikan pasukan asing di bawah pimpinan AS dan banyak donor internasional meninggalkan Afghanistan tanpa hibah yang membiayai tiga perempat belanja publik. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)