Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Korea Herald: Kematian Chun Doo-hwan, Akhir dari Sejarah Kelam Korea

Korea Herald menilai kematian mantan diktator Chun Doo-hwan Selasa (23/11/2021) menandai berakhirnya sejarah kelam Korea Selatan

Editor: hasanah samhudi
zoom-in Korea Herald: Kematian Chun Doo-hwan, Akhir dari Sejarah Kelam Korea
AFP
Seorang pelayat memberi hormat untuk mendiang mantan diktator Korea Selatan Chun Doo-hwan, yang meninggal pada usia 90 tahun, di sebuah rumah sakit di Seoul pada 23 November 2021. 

Pemerintahannya mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat sambil menjaga harga tetap stabil.

Baca juga: Bantah Rumor Kim Jong Un Koma dan Meninggal, Korea Utara Rilis Foto Terbaru sang Diktator

Ini berhasil mempertahankan hak Korea untuk menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas Seoul 1988, Olimpiade pertama di negara itu.

Sayangnya, represi kekerasan gerakan demokrasi di seluruh pemerintahannya menjadi noda pada kepresidenannya.

Chun dihukum setelah pensiun. Dia dijatuhi hukuman mati pada tahun 1996 karena memimpin pemberontakan militer dan membunuh orang untuk tujuan pemberontakan.

“Dia dikutuk karena menghancurkan tatanan konstitusional dan membantai orang-orang yang tidak bersalah,” sebut Korea Herald.

Namun hukumannya diubah menjadi penjara seumur hidup, dan kemudian dia diampuni oleh mantan Presiden Kim Young-sam.

Baca juga: Setengah Juta Siswa Ujian Suneung”, Korea Selatan Mendadak Hening

Meski ia telah dihukum, Chun membela tindakan rezimnya sebagai keputusan yang benar.

Berita Rekomendasi

Dalam memoarnya, ia menyangkal tanggung jawabnya atas pasukan yang menembaki pengunjuk rasa Gwangju yang mengutuk perebutan kekuasaan ilegalnya,” sebut Herald.

Chun dikritik karena pernyataannya yang tidak masuk akal bahwa semua asetnya berjumlah 290.000 won (Rp 3,3 juta), sementara dia terlihat sering bermain golf dengan para pembantunya.

Menjelang akhir hidupnya, Chun dituduh mencemarkan nama baik almarhum Pendeta Cho Cheol-hyeon (Pastor Pius).

Pendeta ini seorang imam Katolik Roma yang bersaksi telah menyaksikan penembakan militer terhadap warga dari helikopter selama Pemberontakan Gwangju.

Baca juga: Korea Selatan Catat Rekor Baru Kasus Harian Corona ketika Mulai Hidup Berdampingan dengan Covid-19

Chun menyebut pendeta itu sebagai "Setan bertopeng" dalam memoarnya, dan pengadilan memutuskan Chun bersalah.

Meskipun dua presiden yang paling tahu tentang penindasan berdarah 18 Mei 1980, dan yang memikul tanggung jawab terbesar telah meninggalkan dunia ini satu per satu, tugas mengungkap kebenaran belum berakhir.

“Jika Chun bertobat dan meminta maaf, meskipun terlambat, konflik itu mungkin bisa diselesaikan sampai batas tertentu,” sebut Korea Herald.

Pemerintahan Chun yang represif berakhir pada perjuangan Juni 1987 yang mengarah ke pemilihan langsung presiden.

“Bangsa ini perlu bertanya pada diri sendiri apakah telah berhasil mengakarkan demokrasi dengan kokoh. Menjaga demokrasi adalah cara untuk membersihkan sisa-sisa sejarah kelam itu,” sebut Korea Herald. (Tribunnews.com/TST/Hasanah Samhudi)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas