Putra Muammar Khadaffi Didiskualifikasi Jadi Calon Presiden Libya, Terlibat Kejahatan Perang
Putra Muammar Khaddafi, Saif al-Islam, didiskualifikasi sebagai calon presiden Libya karena terlibat dalam kejahatan perang
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemilihan Libya mengatakan Saif al-Islam Khaddafi, putra mantan penguasa Muammar Khaddafi, tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Desember mendatang.
Saif Khaddafi adalah salah satu dari 25 kandidat yang didiskualifikasi oleh komisi pada hari Rabu (24/11/2021).
Pengumuman komisi ini adalah keputusan awal menunggu proses banding yang pada akhirnya akan diputuskan oleh pengadilan.
Sekitar 98 warga Libya telah mendaftar sebagai kandidat.
Jaksa militer di Tripoli telah mendesak komisi untuk menyisihkan Saif Khaddafi karena ia telah divonis in absentia atas dakwaan kejahatan perang pada 2015 karena terlibat dalam melawan pemberontakan yang menggulingkan ayahnya pada 2011.
Baca juga: Dicari Pengadilan Kriminal International, Putra Muammar Khaddafi Mencalonkan Diri Jadi Presiden
Baca juga: 10 Tahun Setelah Kematian Gaddafi, Libya Masih Jauh dari Stabilitas
Saat itu, Saif Khddafi muncul melalui tautan video dari Zintan di mana dia ditahan oleh para pejuang yang menangkapnya ketika dia mencoba melarikan diri dari Libya setelah penggulingan ayahnya. Dia membantah melakukan kesalahan.
Diskualifikasi Saif Khaddafi ini sudah diperkirakan sebelumnya, terkait vonis in absentia itu.
Dia dijatuhi hukuman mati karena kejahatan perang, termasuk pembunuhan pengunjuk rasa selama pemberontakan satu dekade lalu, tetapi kemudian diampuni.
Dia juga dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Saif Khaddafi dan tokoh-tokoh rezim sebelumnya diperkirakan akan sulit memobilisasi dukungan karena mereka sudah tidak berkuasa cukup lama.
Baca juga: Putra Mendiang Diktator Libya Muammar Kadhafi Bebas dari Penjara
Baca juga: Milisi Bersenjata Libya Geruduk Hotel Tempat Dewan Kepresidenan Berkantor
Saif al-Islam Khaddafi tetap menjadi rahasia bagi banyak orang Libya.
Ia menghilang dari publik satu dekade terakhir sejak ditangkap oleh pejuang wilayah pegunungan Zintan pada 2011.
Ia sempat melakukan wawancara kepada New York Times awal tahun ini tetapi belum membuat penampilan publik dan berbicara langsung ke Libya.
Ibrahim Fraihat, seorang profesor resolusi konflik di Doha Institute, mengatakan Saif al-Islam Khaddafi memiliki beberapa dukungan di antara mantan loyalis rezim, dan juga dalam kekuatan suku tertentu.
“Saya pikir dia tidak berpeluang untuk memenangkan pemilihan ini, saya pikir ia juga menyadari ia tidak memiliki peluang,” tambah Fraihat.
Baca juga: Prancis Buka Kembali Kedutaannya di Libya setelah Ditutup 7 Tahun
Baca juga: Libya Hadapi Potensi Bencana Lebih Dahsyat Ketimbang Ledakan di Beirut
Dua kandidat terkenal lainnya, Ali Zeidan dan Nouri Abusahmain, juga dikeluarkan.
Pemilihan presiden Libya ini dianggap sebagai momen penting dalam proses perdamaian yang didukung PBB untuk mengakhiri satu dekade kekacauan kekerasan yang telah menarik kekuatan regional sejak pemberontakan yang didukung NATO terhadap Muammar Khaddafi pada 2011.
Era Khaddafi masih dikenang banyak orang Libya sebagai salah satu otokrasi yang keras.
Perselisihan mengenai aturan pemilu, termasuk dasar hukum pemungutan suara 24 Desember dan siapa yang berhak mencalonkan diri, mengancam akan menggagalkan proses perdamaian yang didukung internasional yang bertujuan untuk mengakhiri satu dekade kekacauan.
Beberapa kandidat lain yang awalnya disetujui oleh komisi juga dituduh melakukan kemungkinan pelanggaran oleh saingan politik.
Baca juga: AS Serukan Penarikan Pasukan Rusia dan Turki dari Libya, setelah Langgar Batas Waktu yang Ditentukan
Baca juga: Rakyat Libya Mengeluh Soal Kurangnya Bantuan untuk Penanganan Covid-19
Perdana Menteri Sementara Abdul Hamid Dbeibah berjanji untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden sebagai syarat mempertahankan posisinya saat ini.
Ia juga tidak akan mundur darinya tiga bulan sebelum pemungutan suara seperti yang dipersyaratkan oleh undang-undang pemilihan.
Kandidat terkemuka lainnya, komandan militer pemberontak yang berbasis di timur Khalifa Haftar, dikatakan memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat, sehingga memungkinkan ia didiskualifikasi.
Banyak warga Libya juga menuduhnya melakukan kejahatan perang yang dilakukan selama serangan 2019-20 di Tripoli.
Haftar menyangkal kejahatan perang dan mengatakan dia bukan warga negara AS.
Baca juga: Erdogan Siap Kirim Pasukan ke Libya untuk Perkuat Kerjasama Militer
Utusan PBB untuk Libya Jan Kubis, yang mengundurkan diri dari jabatannya, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada hari Rabu kemarin bahwa peradilan Libya akan membuat keputusan akhir tentang aturan dan apakah kandidat memenuhi syarat.
Kubis mengatakan kepada Dewan Keamanan pada hari Rabu bahwa dia akan tetap menjabat sampai setelah pemilihan bulan depan. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)